Wali Nikah Anak Zina
      Deskripsi
Hamil di luar nikah akhir-akhir ini nampaknya telah menjadi hal biasa. Sebut saja Anton dan Tini, sepasang muda-mudi yang terlanjur melakukan hubungan di luar nikah. Demi menutupi aib keluarga, keduanya melangsungkan pernikahan setelah kandungan mulai membesar. Dan benar juga, belum ada enam bulan, sang anak telah terlahir. Dua puluh tahun kemudian, sang anak yang telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa, sebut saja Mawar, hendak melangsungkan pernikahan. Anton yang merasa sebagai bapak biologis Mawar, merasa mempunyai hak menjadi wali nikah. Dalam prosesi akad nikah, Anton mewakilkan ijab si Mawar pada Naib. Akhirnya Naib pun menikahkan Mawar dan dalam akad nikahnya, ia menyebutkan muwakkilnya. Misalnya,
Ü Menyembunyikan aib perbuatan zina adalah anjuran.
Ü Jika Mawar anak zina, pada kenyataanya yang mengijabkan nikahnya adalah Pak Naib yang notabenenya adalah wali hakim.
Pertanyaan
Hamil di luar nikah akhir-akhir ini nampaknya telah menjadi hal biasa. Sebut saja Anton dan Tini, sepasang muda-mudi yang terlanjur melakukan hubungan di luar nikah. Demi menutupi aib keluarga, keduanya melangsungkan pernikahan setelah kandungan mulai membesar. Dan benar juga, belum ada enam bulan, sang anak telah terlahir. Dua puluh tahun kemudian, sang anak yang telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa, sebut saja Mawar, hendak melangsungkan pernikahan. Anton yang merasa sebagai bapak biologis Mawar, merasa mempunyai hak menjadi wali nikah. Dalam prosesi akad nikah, Anton mewakilkan ijab si Mawar pada Naib. Akhirnya Naib pun menikahkan Mawar dan dalam akad nikahnya, ia menyebutkan muwakkilnya. Misalnya,
(يا زيد أنكحتك وزوجتك مخطوبتك ماوار بنت أنطان مولية أبـيها الذى وكلنى بمهر مليون روبية حالا)
Pertimbangan:Ü Menyembunyikan aib perbuatan zina adalah anjuran.
Ü Jika Mawar anak zina, pada kenyataanya yang mengijabkan nikahnya adalah Pak Naib yang notabenenya adalah wali hakim.
Pertanyaan
- Bolehkan Anton mewakilkan akad nikah Mawar pada pak Naib?
- Menurut Syafi’iyyah, taukil Anton tidak sah karena Anton tidak memiliki wilâyah at-tazwîj. Namun karena menurut Hanafiyyah dan Malikiyyah wali Mawar adalah Anton (shâhibul firasy), maka dalam rangka untuk khurûj minal khilâf, Naib disunnahkan minta izin kepada Anton untuk menikahkan Mawar, sehingga perwaliannya sah menurut ketiga madzhab (Syafi’i, Hanafi dan Maliki).
- Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 292
- Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol. VII hlm. 275
- Bughyah Al-Mustarsyidîn, hlm. 203
- Atsnâ Al-Mathâlib, vol. XI hlm. 72
- Al-Bujairamy Alâ Al-Khathîb, vol. III hlm. 134
- Al-Qulyûby wa Umairah, vol. II hlm. 422
- Bagaimana hukum pernikahan Mawar?
- Apabila dalam akad nikah menggunakan sighat seperti dalam deskripsi (مولية أبيها الذى وكلنى) dengan sengaja dan Naib tahu taukilnya tidak sah, maka hukum pernikahannya tidak sah, karena shighat demikan termasuk kalam ajnabi.
|  R E F E R E N S I | |
| 
 | |
Menikahi Perempuan Pezina
      Maret 29, 2009 pada 6:15 am     (pernikahan)           
      Menikahi perempuan pezina disikapi para ulama dengan dua  pendapat  yang berbeda: 1. Haram 2. Diperbolehkan Dasar Hukum Rowa’i al  Bayan Juz II halaman 49 الحُكْمُ الثَّالِثَ عَشَرَ: هَلْ يَصِحُّ  الزَّوَاجُ بِالزَّانِيَةِ؟ إِخْتَلَفَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ فِى هَذِهِ  المَسْأَلَةِ عَلَى قَولَيْن : الأَوَّلُ: حُرْمَةٌ الزَّوَاجِ  بِالزَّانِيَةِ, وَهُوَ مَنْقُولٌ عَنْ عَلِيٍّ وَالبَرَّاءِ وَعَائِشَةَ  وَابْنُ مَسْعُودٍ الثَّانِي: جَوَازُ الزَّوَاجِ بِالزَّانِيَةِ وَهُوَ  مَنْقُولٌ عَنْ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ وَهُوَ مَذْهَبُ  الجُمْهُورِ وَبِهِ قَال الفُقَهَاءُ الأَرْبَعَةُ مِنَ الأَئِمَّةِ  المُجْتَهِدِيْنَ Hukum ketigabelas mengenai apakah sah menikahi  perempuan pezina? Ulama salaf dalam menyikapi masalah ini,  terpecah  menjadi dua pendapat: 1. Haram menikahi perempuan pezina. Pendapat ini  dikutip dari Sayidina Ali, Al Barra’, Aisyah dan Ibn Mas’ud. 2.  Diperbolehkan menikahi perempuan pezina. Pendapat ini dikutip dari Abu  Bakar, Umar dan Ibn Abbas. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas dan  didukung Madzhab Empat yaitu para imam mujtahid kenamaan.
Kedudukan Kepala KUA Sebagai Wali Hakim Dalam Tinjauan Fiqh
      Maret 11, 2009 pada 9:28 pm     (akad nikah)           
      Dalam PMA No. 11 Tahun 2007 disebutkan bahwa wali hakim bagi  wanita yang tidak memiliki wali dengan berbagai sebab adalah Kepala KUA.  Seorang Kepala KUA meskipun tidak bisa disejajarkan dalam derajat qodli  karena tidak memiliki kewenangan mengadili maupun memutuskan, dan hanya  sebagai seorang ma’dzun syar’i atau pegawai pencatat nikah, namun dalam  kaitan statusnya sebagai wali hakim, Kepala KUA termasuk pada kriteria  pegawai yang diberi wewenang. Bahkan seandainya pimpinan yang menunjuk  sebagai wali hakim itu adalah seorang presiden perempuan. Keabsahan ini  meneguhkan legalitas pernikahan yang dilakukan dengan perwalian hakim  tersebab alasan yang dibenarkan syariat. sebagaimana keputusan Muktamar  NU TH. 1999 di Kediri sbb:  Deskripsi Masalah:  Mengikuti perkembangan  kondisi politik di tanah air pasca pemilu 1999 ini. Kiranya perlu segera  ada sikap dan konsep yang jelas dari PBNU mengenai masalah yang sangat  prinsip bagi kaum muslimin. Yaitu masalah WALI HAKIM dalam pernikahan,  apabila presiden RI dijabat oleh seorang perempuan. Dalam hal ini NU  telah menetapkan sejak Bung Karno, bahwa Presiden RI adalah Waliyyul  amri adl-dlorury bisy-syaukah agar mengesahkan pernikahan yang dilakukan  oleh wali hakim.  Pertanyaan  1. Apakah wilayah hakim dalam pernikahan  harus di tangan Presiden atau Menteri Agama saja?  Jawaban:  Wilayah  hakim dalam pernikahan berada di tangan Presiden dan aparat terkait yang  ditunjuk Presiden.  Dasar Pengambilan: 1- المغنى الشرح الكبير لإبن  قدامة المقدسى الجزء السابع ص 351 وعبارته: قال : صلى الله عليه وسلم فإن  تشاجروا فالسلطان ولي من لاولي له اخرجه ابو داود. السلطان هنا هو امام او  الحاكم او من فوّضا اليه ذلك. 2- اعانة الطالبين الجزء الثالث ص314  وعبارته: قوله والمراد اى السلطان: من له ولاية اى عامة اوخاصة…: وحاصل  الدفع ان المراد بالسـلطان: كل من له سلطان وولاية على المرأة عاما كان  كالامام او خاصا كالقاضى والمتولى لعقود الانكحة. 3- الباجورى الجزء الثانى  ص106 وعبارته: ثم الحاكم عاما كان او خاصا كالقاضى اوالمتولى بعقود  الانكحة او لهذا العقد بخصوصه.  2. Bila ditangan Presiden, apakah wanita  sah menjadi wali hakim?  Jawaban:  Sah karena kelembagaan Presiden  sebagai wilayah ammah.
Dasar Pengambilan:
1- بجيرمى على الخطيب الجزء الثانى ص: 337 وعبارته: لاتعقد امرأة نكاحا… إلا إذا وليت الامامة العظمى, فإن لها ان تزوج غيرها لا نفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه. 2- الباجورى الجزء الثانى ص:101 وعبارته: (وقوله ولاغيرها) اى ولاتزوج غيرها لابولاية ولاوكالة لخبر لاتزوج المرأة المرأة ولاالمرأة نفسها… نعم, إن تولت امرأة الإمامة العظمى والعياذ بالله تعالى نفذت احكامها للضرورة كما قاله عزالدين ابن عبد السلام وغيره وقياسه صحة تزويجها غيرها بالولاية العامة. 3.- حاشية البجيرمى على المنهج الجزء الثالث ص :337 4.- وعبارته:قال ح ل (الحلبى) إلا اذا وليت الامامة العظـمى فإن لها أن تزوج غيرها لانفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه
Namun terkadang seorang Kepala KUA melampaui kewenangannya dengan mewakilkan orang-orang yang ditunjuknya. Padahal aturan kenegaraan sebagaimana diatur dalam PMA 11 Tahun 2007 atau aturan-aturan sebelumnya sama sekali tidak memberi kewenangan kepada seorang Kepala KUA untuk mewakilkan. Aturan ini dikukuhkan oleh Fiqh sehingga orang yang menerima perwakilan wali hakim dari seorang Kepala KUA tidak sah menikahkan.
Dasar Pengambilan:
1- بجيرمى على الخطيب الجزء الثانى ص: 337 وعبارته: لاتعقد امرأة نكاحا… إلا إذا وليت الامامة العظمى, فإن لها ان تزوج غيرها لا نفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه. 2- الباجورى الجزء الثانى ص:101 وعبارته: (وقوله ولاغيرها) اى ولاتزوج غيرها لابولاية ولاوكالة لخبر لاتزوج المرأة المرأة ولاالمرأة نفسها… نعم, إن تولت امرأة الإمامة العظمى والعياذ بالله تعالى نفذت احكامها للضرورة كما قاله عزالدين ابن عبد السلام وغيره وقياسه صحة تزويجها غيرها بالولاية العامة. 3.- حاشية البجيرمى على المنهج الجزء الثالث ص :337 4.- وعبارته:قال ح ل (الحلبى) إلا اذا وليت الامامة العظـمى فإن لها أن تزوج غيرها لانفسها كما ان السلطان لايعقد لنفسه
Namun terkadang seorang Kepala KUA melampaui kewenangannya dengan mewakilkan orang-orang yang ditunjuknya. Padahal aturan kenegaraan sebagaimana diatur dalam PMA 11 Tahun 2007 atau aturan-aturan sebelumnya sama sekali tidak memberi kewenangan kepada seorang Kepala KUA untuk mewakilkan. Aturan ini dikukuhkan oleh Fiqh sehingga orang yang menerima perwakilan wali hakim dari seorang Kepala KUA tidak sah menikahkan.
Namun, penggantian  posisi wali hakim yang berhalangan ini disyahkan dalam tinjauan fiqh  apabila disahkan oleh aturan Pemerintah sebagaimana disebutkan dalam  kitab Zaitunah al Ilqah halaman 169 :
وَنَصُّوا عَلَى أَنْ يَسْتَنِيْبَ إِذَا لَهُ * بِهِ أَذِنَ السُّلْطَانُ نَصًّا بِلاَ سَدِّ
وَحَيْثُ جَرَى إِذْنٌ لَهُ فِى تَزَوُّجٍ * فَزَوَّجَ صَحَّ العَقْدُ مِنْ غَيْرِ مَا صَدِّ
Ulama Syafiiyah  menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti (posisi) hakim apabila  pemerintah mengizinkan dengan penetapan yang tidak tertolak. Apabila  izin bagi pengganti hakim dalam menikahkan didapatkan, kemudian  pengganti hakim ini menikahkan, maka sahlah akad nikahnya tanpa ada  halangan.
 Ibarat  kitab ini, disamping menguatkan pembolehan mengganti posisi wali hakim  yang lowong oleh sebab-sebab tertentu, juga menafikan keabsahan wakalah  wali hakim yang tidak dilakukan Ka Sie Urais untuk atas nama Menteri Agama, sebagaimana dalil diatas; orang lain boleh mengganti posisi hakim apabila pemerintah selaku sulthan mengizinkan.  PMA no. 11 tahun 2007 menyatakan yang berhak menunjuk penghulu untuk  mengganti jabatan Kepala KUA yang berhalangan untuk menjadi wali hakim  adalah Ka Sie Urais. Karena itu Kepala KUA tidak boleh melampaui  wewenangnya dengan mewakilkan sendiri tanpa sepengetahuan Ka Sie Urais  Wallahu A’lam.
Keharusan Izin Bagi Wali Ghairu Mujbir
      Februari 23, 2009 pada 4:07 pm     (akad nikah)           
      Suatu hari ada orang yang mempertanyakan tindakan penghulu yang  memerintahkan kakak kandung yang menjadi wali dari adiknya untuk meminta  izin adiknya yang menjadi pengantin apakah boleh mewakilkan proses ijab  nya kepada penghulu.  Selain kakak kandung seperti anak saudara, paman  dan seterusnya disebut juga dengan wali ghoiru mujbir atau wali yang  tidak bisa memaksa. Jika wali ghoiru mujbir ingin menikahkan seorang  perempuan,  ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti:  1.        Wali ghoiru mujbir wajib meminta izin kepada perempuan yang hendak  dinikahkan. Tidak mencukupi kalau hanya dari persetujuan perempuan  tersebut atas tawaran ibunya atau orang lain. Wali ghoiru mujbir harus  meminta izin atau mendapat izin secara langsung dari perempuan tersebut.   2.       Wali ghoiru mujbir boleh mewakilkan kepada orang lain untuk  mewakilkan kepada orang lain untuk menikahkan setelah mendapat izin dari  perempuan yang hendak dinikahkan, dan selama tidak ada larangan untuk  mewakilkan.  3.       Wakil wali ghoiru mujbir disunnahkan untuk meminta  izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan.  Dengan demikian tindakan   penghulu yang seperti ini sudah sesuai dengan aturan seharusnya dan  merupakan peng-ejawentahan dari penjelasan dari kitab al Majmu’ fi ahkam  al nikah hal 97 :  وَلِلأَبِ وَالجَدِّ التَوكِيْلُ فِى تَزْوِيْجِ  البِكْرِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا وَلِغَيْرِهِمَا مِنَ الأَوْلِيَاءِ  التَوْكِيْلُ بَعْدَ إِسْتِأْذَانِهَا إِنْ لَمْ تَنْهَ عَنِ التَوْكِيْلِ .  فَلَو وَكَّلَ قَبْلَ أَنْ تَأَذَّنَ لَمْ يَصِحَّ وَيُنْدَبُ لِلوَكِيْلِ  إِسْتِأْذَانِهَا.   Diperbolehkan bagi ayah dan kakek untuk mewakilkan  dalam pernikahan anaknya yang masih gadis tanpa seizinnya. Dan bagi  wali-wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir) boleh  mewakilkan setelah minta izin perempuan tersebut untuk menikahkannya,  dan jika ia tidak melarang untuk mewakilkan. Andaikata wali ghoiru  mujbir mewakilkan sebelum mendapat izin dari perempuan maka  perwakilannya tidak sah. Dan disunnahkan bagi wakil wali ghoiru mujbir  untuk minta izin kepada perempuan yang hendak dinikahkan.  Al Fiqh al  Minhaji hal 70, secara spesifik memberikan alasan ketidak absahan  perwakilan wali ghoiru mujbir tanpa izin perempuan :  أَمَّ غَيْرُ  المُجْبِر مِنَ الأَوْلِيَاءِ وَهُوَ غَيْرُ الأَبِّ وَالجَدِّ فَلاَ  يَجُوزُ لَهُ التَّوَكِيْلُ فِى التَزْوِيْجِ إِلاَّ بِإِذْنِ المَرْأَةِ  لأَنَّهُ لاَيَمْلِكُ تَزْوِيْجِهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا فَأَولَى أنْ  لاَيَمْلِكُ أَنْ يَوَكِّلَ مَنْ يُزَوِّجُهَا بِغَيْرِ إِذْنِهَا  Adapun  wali ghoiru mujbir, yaitu selain ayah dan kakek (saudara, paman dst),  tidak boleh mewakilkan untuk menikahkan seorang perempuan kecuali dengan  seizing perempuan tersebut, karena ia tidak memiliki hak untuk  menikahkannya tanpa seizinnya. Terlebih lagi, ia tidak berhak mewakilkan  kepada orang lain untuk menikahkannya tanpa seizinnya.  Proses izin  kepada calon pengantin untuk mewakilkan proses ijab nikah bahkan  disunnahkan untuk dipersaksikan apakah calon pengantin mengizinkan atau  tidak, sebagaimana keterangan dalam I’anah al Tholibin Juz 3 Halaman 313  :  وَيُنْدَبُ لِغَيْرِ الأَبِّ وَالجَدِّ الإِشْهَادُ عَلَى الإِذْنِ   Disunnahkan bagi wali selain ayah dan kakek (yaitu wali ghoiru mujbir)  untuk mempersaksikan ketika perempuan memberi izin.
Memberikan Uang Pesangon Untuk Isteri Yang Diceraikan
Seharusnya sudah menjadi sesuatu yang  dimaklumi, seorang suami memiliki kewajiban untuk menghidupi isterinya.  tapi tidak jarang ada suami yang bergantung pada isterinya atau bahkan  menelantarkan serorang isteri. Hubungan pernikahan disamping merupakan  hubungan hati/perasaan, juga merupakan hubungan transaksional muamalah.  Artinya ada hak-hak hukum dalam transaksi itu yang harus dipenuhkan.  Diantara hak-hak hukum yang harus dipenuhkan adalah kewajiban memberikan  mut’ah (uang pesangon) kepada isteri yang dicerai. Meskipun dalam  budaya kita hal ini tidak populer terlebih bila sang suami merupakan  orang yang tidak bertanggungjawab dan komitmen pernikahan adalah untuk  selamanya, namun sebagai bukti pertanggungjawaban suami, bila suami  menceraikan isterinya, dia wajib memberikan uang pesangon atau dalam  bahasa arab disebut  mu’nah dengan ketentuan sebagai berikut :
• Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
• Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
• Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Penjelasan diatas lebih jelas bisa ditemukan dalam I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356
• Sebab perceraian bukan dari pihak isteri dan bukan karena kematian salah satu suami isteri dan juga bukan dari keduanya.
• Sebelum terjadinya perceraian isteri tersebut sudah pernah dikumpuli.
• Isteri belum pernah dikumpuli, akan tetapi dia sebagai isteri yang mufawwidloh merelakan dikawin tanpa mahar dan dicerai sebelum adanya penentuan mahar.
Penjelasan diatas lebih jelas bisa ditemukan dalam I’anah al Tolibin Juz 3 Hal. 356
 تَتِمَّةٌ تَجِبُ عَلَيْهِ لِزَوجَةٍ مَوْطُوعَةٍ وَلَو أَمَةً مَتْعَةٌ  بِفِرَاقٍ بِغَيْرِ سَبَبِهَا  وَبِغَيْرِ مَوتِ أَحَدِهِمَا (قَولُهُ  لِزَوْجَةٍ مَوطُوعَةٍ) وَكَذَا غَيْرُ المَوطُوعَةِ التى لَمْ يَجِبْ  لَهَا شَيْءٌ أَصْلاً وَهُوَ المُفَوِّضَةُ الَّتِى طُلِّقَتْ قَبْلَ  الفَرْضِ وَالوَطْءِ فَتَجِبُ لَهَا المُتْعَةُ لِقُولِهِ تَعَالَى:  لاَجُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طُلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ  أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيْضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ .أمَّا الَّتِى وَجَبَ  لَهَا نِصْفُ المَهْرِ فَلاَ مُتْعَةَ لَهَا لأَنَّ النِّصْفَ جَابِرٌ  لِلإِيحَاسِ الَّذِى حَصَلَ لَهَا بِالطَّلاَقِ مَعَ سَلاَمَةِ بِضْعِهَا  وَلَو قَالَ كَغَيْرِهِ لِزَوْجَةٍ لَمْ يَجِبْ لَهَا نِصْفُ مَهْرٍ فَقَطْ  بِأَنْ لَمْ يَجِبْ لَهَا المَهْرُ أَصْلاً او وَجَبَ لَهَا المَهْرُ  كُلُّهُ لَكَانَ أَولىَ لَهَا فِى عِبَارَتِهِ مِنَ الإِيْهَامِ الذِى  لاَيَخْفَى.
Kekeliruan Penghulu Dalam Menikahkan
      Dalam sebuah pernikahan, tidak jarang kita menemui seorang wali,  wakil wali atau pengantin pria keliru dalam mengucapkan sighat ijab  kabul, sehingga seringkali “dipaksa” hadirin untuk diulang ijab  kabulnya. Sebenarnya ada beberapa toleransi kekeliruan yang tidak  mempengaruhi keabsahan sebuah akad. Salah satu contohnya adalah kekeliruan  penghulu atau orang yang mendapat wakalah menikahkan, menyebutkan nama  wali, seperti Fatimah binti Utsman diucapkan Fatimah binti Umar, maka  pernikahan itu hukumnya tetap sah apabila pada waktu akad tadi wali atau  penghulu memberi isyarat kepada calon isteri atau wali atau penghulu  menyengaja terhadap calon isteri yang dimaksud seperti kata ya muhammad hadza (wahai muhammad ini/yang ada dihadapanku) meski ternyata namanya abdullah misalnya, ijab kabul tetap sah karena ada penyebutan hadza/orang ini atau diniatkan orang yang ada dihadapannya. ketentuan ini sesuai dengan paparan dalam kitab  Bughyatul Mustarsyidin halaman 200
   
(مَسْئَلَة  ش) غَيَّرَتْ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا عِنْدَ إِسْتِئْذَانِهِاَ فِى  النِّكَاحِ وَزَوَّجَهَا القَاضِىبِذَلِكَ الإِسْمِ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ  إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا غَيْرُ مَا ذَكَرْتَهُ فَإِنْ أَشَارَ إِلَيهَا  حَالَ العَقْدِ بِأَنْ قَالَ زَوَّجْتُكَ هَذِهِ أَوْ نَوَيَاهَا بِهِ  صَحَّ النِّكَاحُ سَوَاءٌ كَانَ تَغْيِيْرُ الإسْمِ عَمْدًا اوسَهْوًا  مِنْهُ أَوْمِنْهَا إِذِ المَدَارُ عَلَى قَصْدِ الوَالى وَلَو قَاضِيًا  وَالزَّوجُ كَمَا قَالَ زَوَّجْتُكَ هِنْدًا وَنَوَيَا دَعْدًا عَمَلاً  بِنِيَّتِهَا
(masalah  sy) seorang perempuan mengganti namanya atau nasabnya ketika meminta  izin dalam pernikahan dan hakim menikahkannya dengan nama itu ternyata  nama dan nasabnya itu bukan nama atau nasab yang disebutkan. Bila akad  itu diisyaratkan kepadanya dengan gambaran hakim berkata saya nikahkan  engkau dengan orang ini, atau meniatkan kepada sang pengantin putri  ketika menyatakan nama yang keliru itu, maka pernikahannya tetap sah,  baik perubahan nama itu disengaja atau karena lupa nasab dan namanya,  karena acuan hukum yang digunakan adalah penyengajaan wali, meski wali  hakim dan penyengajaan suami, sebagaimana perkataan wali saya nikahkan  kamu dengan hindun dan meniatkan dakdan, hal ini juga berdasar niat  pengantin perempuan.
Kehadiran Wali Nikah Yang Sudah Mewakilkan.
Sudah  menjadi kebiasaan masyarakat, terutama dikalangan kelas menengah  kebawah, seringkali wali nikah baik orang tua kandung, kakak kandung  ataupun siapa saja yang kebetulan menjadi wali, mewakilkan pernikahan  catin perempuan kepada penghulu. Atau atas pesan salah seorang pengantin  agar Kyai yang menikahkan. 
Tidak jarang dalam  proses akad nikah tersebut, Kyai atau Penghulu setelah menerima akad  wakalah/wakil untuk menikahkan, Kyai atau Penghulu memerintahkan wali  untuk keluar dan tidak berada dalam majelis akad, dengan alasan sudah  diwakilkan kok masih dimajelis?!
Sebenarnya  dalam tinjauan fiqh apabila  seorang wali nikah telah mewakilkan akad nikah kepada orang lain,  kemudian ikut hadir dalam majlis akad tersebut, maka akad itu dihukumi  sah, selama hadirnya si wali tersebut tidak untuk menjadi saksi nikah.  Penjelasan ini dapat dilihat lebih lengkap dalam Hasyiyah al Bajuri  II/102 yang secara ringkas sebagai berikut
فَلَو  وَكَّلَ الأَبُّ أَوِ الأَخُ المُنْفَرِدِ فِى العَقْدِ وَحَضَرَ مَعَ  آخَرَ لِيَكُونَا شَاهِدَيْنِ لَمْ يَصِحَّ لأَنَّهُ مُتَعَيِّنٌ لِلعَقْدِ  فَلاَ يَكُونُ شَاهِدًا.
Seandainya bapak atau saudara yang sendiri mewakilkan dalam akad, dan hadir besertaan yang lain agar keduanya menjadi saksi, maka pernikahan tersebut tidak sah karena saksi itu menegaskan keberadaan akad, maka wali tidak dapat menjadi saksi.
Akad Ulang Untuk Legalitas
  Sering orang melakukan nikah sirri, tidak melalui KUA. Dikemudian hari,  dia meresmikan pernikahannya melalui KUA dan dalam peresmian tersebut  dia melakukan akad nikah lagi. Hukum akad nikah yang kedua ini adalah MUBAH  dan dalam akad nikah kedua ini pengantin pria tidak wajib membayar  mahar lagi. Nikah kedua ini juga tidak mempengaruhi terhadap haqqut thalaq menurut pendapat yang shahih. Yang mendasari pendapat ini adalah pernyataan dalam kitab  Fathul Baari XIII/159
(بَابُ مَنْ بَايَعَ مَرَّتَيْنِ) حَدَّثَنَا أَبُو  عَاصِمْ عَنْ يَزِيْدِ ابْنِ أَبِى عُبَيْدَة عَنْ سَلَمَةَ رض. قَالَ :  بَايَعْنَا النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ  فَقَالَ لِى اَلاَ تَبَايَعَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَارَسُولَ اللهِ فِى  الأَوَّلِ قَالَ وَفِى الثَّانِى رَوَاهُ البُخَارِى قَالَ ابْنُ مُنِيْر  يُسْتَفَادُ مِنْ هَذَا الحَدِيْثِ أَنَّ إِعَادَةَ عَقْدِ  النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ لَيْسَ فَسْحًا لِلْعَقْدِ الأَوَّلِ خِلاَفًا لِمَن  زَعَمَ ذَلِكَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ قُلْتُ الصَّحِيحُ عِنْدَهُمْ إِنَّهُ  لاَ يَكُوْنُ فَسْخًا كَمَا قَالَ الجمْهُور أهـ
(bab  tentang orang yang melakukan transaksi jual beli dua kali) bercerita  kepadaku (Imam Bukhori) Abu Ashim dari Yazid ibn Abi Ubaidah dari Salmah  RA. Salmah berkata : “saya melakukan transaksi jual beli dengan Nabi  Muhammad SAW di bawah pohon, kemudian Rasul berkata padaku, apakah kamu  tidak melakukan akad transaksi? Saya telah melakukan akad wahai  Rasulullah pada waktu pertama, Nabi berkata; dan pada waktu yang kedua.”  Hadits riwayat al Bukhari. Ibn Munier berpendapat : Dari hadits ini  dapat diambil manfaat (kesimpulan hukum) bahwa mengulangi akad nikah  atau yang lainnya itu tidak merusak akad yang pertama berbeda dengan  orang yang menyangka bahwa hal itu dari ulama as Syafii. Penyusun kitab  Fathul Bari berkata : “  pendapat yang benar menurut ulama syafii, pernikahan itu sah tidak merusak sebagaimana disampaikan oleh mayoritas ulama.”
  Akad nikah ulang atas perintah Kantor Urusan Agama ini, sama halnya  dengan tajdiidunnikah atau orang jawa sering mengistilahkan dengan mbangun nikah. Menurut  pendapat yang shahih, memperbarui nikah itu hukumnya jawaz (boleh) dan  tidak merusak pada akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui  akad itu hanya sekedar keindahan (tajamul) atau berhati-hati (ihtiyath).  Meski pendapat lain sebagaimana disebutkan dalam kitab al Anwar akad  baru tersebut bisa merusak akad yang telah terjadi.namun sejauh ini  hanya kitab ini saja yang diketahui menyatakan bahwa mengulang nikah  menyebabkan rusaknya pernikahan terdahulu. Ketentuan diatas didasari  pernyataan pengarang kitabSyarah Minhaj Li Shihab Ibn Hajar Juz 4 halaman 391
إِنَّ  مُجَرَّدَ مُوَافَقَةُ الزَّوجِ عَلَى صُورَةِ عَقْدِ ثَانٍ مَثَلاً  لاَيَكُونُ إِعْتِرَافًا بِإِنْقِضَاءِ العِصْمَةِ الأولَى بَلْ وَلاَ  كِنَايَةَ فِيْهِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لآنَّهُ مُجَرَّدُ تَجْدِيْدٍ طُلِبَ مِنَ  الزَّوجِ لِتَجَمُّلٍ أَو إحْتِيَاطٍ فَتَأَمَّل.
Sesungguhnya  murninya kecocokan suami pada kasus akad yang kedua misalnya, bukanlah  pengakuan atas rusaknya penjagaan atas akad yang pertama, bahkan hal itu  bukan sindiran untuk itu, dan ini jelas. Karena akad kedua itu hanyalah  untuk memperbarui sebagai tuntutan pada suami untuk memperindah  (hubungan) dan berhati-hati, camkanlah.
 Terkait  persepsi mengenai nikah bawah tangan (sirri) yang berbeda-beda diantara  pihak pemerintah dan sebagian masyarakat menimbulkan saling curiga  kedua pihak. Masyarakat sebagai pihak obyek hukum berkesan merasa selalu  dipersulit. Pengajuan pencatatan nikah dari mereka yang pernah  melakukan nikah bawah tangan diharuskan melakukan akad nikah kembali,  jika tidak dipenuhi maka pihak KUA tidak berkenan memberi surat akta  nikah dan hal yang demikian tidak jarang  menimbulkan perdebatan ramai antara kedua belah pihak. Perlu diketahui bahwa  KUA boleh memaksakan hal itu karena menjalankan ketentuan aturan  negara. Bahkan apabila ditemukan       atau diduga terjadi  kebohongan-kebohongan, perintah nikah ulang hukumnya menjadi wajib.  Kewenangan perintah untuk mengulang nikah ini seiring dengan pendapat  dalam kitab Ianat Thalibin Juz 3 hal 302 dan Asna al Mathalib Juz 3 hal  157
اعانة الطالبين ج 3 ص 302
وقوله فيه: متعلق بمحذوف صفة لحجة، أي بحجة مقبولة في ثبوت النكاح وهي رجلان، أو علم الحاكم
 أسنى المطالب الجزء الثالث ص: 157
(قوله  قال إبراهيم المروزي إلخ) أشار إلى تصحيحه وكتب عليه ما نقله عن المروزي  مخالف لما صححه في النكاح من أن البالغة العاقلة إذا أقرت بالنكاح فقالت  زوجني ولي بعدلين ورضاي إن كانت ممن يعتبر رضاها وكذبها الولي فثلاثة أوجه  أصحها يحكم بقولها لأنها تقر على نفسها قاله ابن الحداد والشيخ أبو علي  والثاني لا لأنها كالمقرة على الولي قاله القفال والثالث يفرق بين العفيفة  والفاسقة قاله القاضي حسين ولا فرق في هذا الخلاف بين أن تقيد الإقرار  وتضيف التزويج إلى الولي فيكذبها وبين أن تطلق ثم قال ويجري الخلاف أيضا في  تكذيب الشاهدين إذا كانت قد عينتهما والأصح أنه لا عبرة بتكذيبهما لاحتمال  النسيان والكذب هذه عبارته وبها يظهر أن ما نقله عن المروزي ضعيف مبني على  أن تكذيب الشهود المعينين يقدح فإن قلنا لا يقدح قبل قولها في الموضعين  وقد بينه في الكفاية كذلك فقال في باب التحليل ولو قال الزوج أنا أعلم أن  الزوج الثاني لم يدخل بها ثم قال بعد ذلك علمت أنه أصابها قال الشافعي يقبل  ذلك منه وكان له أن يتزوجها ولو قال الزوج الثاني لم أدخل بها وادعت  الزوجة الدخول هل للأول نكاحها وكذلك لو جاء الولي والشهود الذين ادعت  انعقاد النكاح بحضورهم وأنكروا ذلك لم يقبل منهم وأشار البغوي إلى شيء من  ذلك وهو مستمد من إقرار المرأة بالنكاح فإن المذهب أنه يعمل به مع تكذيب  الولي والشهود
 Menikah melalui telepon/teleconfrence
Saya pernah mendengar kabar ada seorang dosen perguruan tinggi menikahkan anaknya melalui telepon. saya juga pernah mendengar seorang penghulu kantor urusan agama di jawa barat menikahkan melalui teleconfrence.Sesungguhnya dalam tinjauan fiqh syafi   Ijab qabul dalam akad nikah melalui telepon atau teleconfrence   hukumnya tidak sah, sebab tidak ada pertemuan langsung antara orang yang  melaksanakan akad nikah. Keharusan para pihak, calon pengantin harus  dalam satu majelis ini untuk meminimalisir penipuan atau untuk  meyakinkan terjadinya pernikahan. Dalam kitab Kifayatul Akhyar II/51  dijelaskan :
(فرع) يُشْتَرَطُ فِى صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ خُضُورُ أَرْبَعَةٍ. وَلِيٍّ وَزَوْجٍ وَشَاهِدَى عَدْلٍ
(cabang) disyaratkan dalam keabsahan nikah, hadirnya 4 orang: wali, calon suami dan dua orang saksi yang adil.
begitu juga dalam kitab Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib III.335 disampaikan
وَمِمَّا  تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالبَصَرُ وَالضَّبْطُ  (قُولُهُ وَالضَبْطُ) اى لأَلْفَاظِ وَلِى الزَّوجَةِ وَالزَّوجُ فَلاَ  يَكْفِى سِمَاعُ الفَاظِهِمَا فِى ظُلْمَةٍ لأَنَّ الأَصْوَاتَ تَشْبِيْهٌ.
Dan  sebagian dari hal-hal yang diabaikan dari syarat saksi dalah mendengar,  melihat dan cermat (pernyataan penyusun : dan cermat) maksudnya cermat  atas ucapan wali pengantin putri dan pengantin putra. Tidak cukup  mendengar ucapan mereka di kegelapan karena mengandung keserupaan.
Ketidak  absahan ini bukan berarti hukum Islam mengesampingkan teknologi, namun  dibalik kecanggihan teknologi juga ada kemudahan dalam memanipulasi.  bisa saja suaranya dirubah, didubling oleh suara orang lain, pastinya  kita sudah mengetahui banyak tentang hal ini.
Sebuah  pernikahan merupakan benang tipis antara ibadah dan kemaksiatan, setiap  kekeliruan dalam pernikahan bisa mengakibatkan perzinaan diantara dua  orang. karena itu harus dijalankan secara berhati-hati dan tidak  sembrono.
Bagaimana  bila salah satunya berhalangan hadir? perlu diketahui pula, bahwa  ketidak mampuan hadir dapat diganti dengan cara mewakilkan baik melalui  surat, utusan orang atau telepon. Dalam Kantor Urusan Agama biasanya  juga disediakan blangko tauliyah bil kitabah.
 
Buat Facebook Comment, klik 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar