Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya.
Adapun syariat tayammum ini Allah ‘Azza wa Jalla yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
Tayammum Khusus bagi Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’ 2/239)
Pengertian Tayammum
Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/ debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat”, sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)
Tata Cara Tayammum
‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma berkata:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya1, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:
وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
Dari hadits Ammar radhiallahu ‘anhuma di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:
1.Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan
2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
3. Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.
Berniat
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ
“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.
Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata:
“Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i2 dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)
Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan
Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi.
Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269-270, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.
Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
التَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)
Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa` ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal. 341): “Dha’if.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata:
“Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits Al-Anshari3 dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208.
Al-Imam Ash-Shan‘ani rahimahullahu berkata:
“Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)
Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)
Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)
Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan
Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata:
“(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)
Kata Ibnu Qudamah rahimahullahu:
“Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar radhiallahu ‘anhuma disebutkan bahwa setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)
Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua Telapak Tangan
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).
Al-’Allamah Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata:
“Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya Al-Imam Malik rahimahullahu dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”
Sementara Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata:
“Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)
Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini:
Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90).
Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ
“Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)
Dalam ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأ َاللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)
Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah:
ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913)
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat Al-Bukhari no. 3474: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)
Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan5 -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.
Batasan Tangan yang Harus Diusap
Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha` dan Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97)
Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku6. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi7, dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.
Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)
Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273).
Ibnu Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata:
“Yang wajib bagi kita adalah kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila Allah ‘Azza wa Jalla menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.”
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam Fathul Bari (2/56) berkata:
“Hadits ini sangat mungkar dan terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”
Guru kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu juga mendha’ifkannya.
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullahu sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullahu: “Hadits ini telah diingkari oleh Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/57)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dan selainnya mengatakan:
“Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma (shahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
Perselisihan tentang Pengusapan Wajah
Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak.
Sedangkan pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)
Dan penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu, karena dzahir nash yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
1 Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)
2 Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268
Buat Facebook Comment, klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar