Slide Cahaya - Hati

Nurul Qolby 1234567 Slideshow: Nurul’s trip from Jakarta, Java, Indonesia to 3 cities , Bangladesh and Indonesia (near Benteng, Selayar Island) was created by TripAdvisor. See another Indonesia slideshow. Create a free slideshow with music from your travel photos.
http://tripwow.tripadvisor.com/tripwow/ta-009b-86da-4384

Minggu, 03 April 2011

Berdzikir Membuat Hati Tentram, Benarkah?

Hidup ini memang tempat ujian. Tanpa diundang atau dicari pun, masalah akan tetap kita temui. Setelah menyelesaikan masalah yang satu, maka kita akan mendapat masalah baru untuk diselesaikan. Semua itu ibarat anak sekolah yang terus mendapat soal ujian untuk bisa naik kelas.

Seorang motivator dan inspirator, Drs. Mario Teguh, MBA— dikenal juga dengan inisial MT; beliau juga guru bagi penulis dan ribuan Super Members di MTSuperClub— menasihatkan bahwa perjalanan naik kita akan selalu ditaburi dengan ujian-ujian yang akan memisahkan kita dari mereka yang tidak betul-betul menginginkan kecemerlangan hidup. Ujian-ujian itu adalah tantangan yang memanggil semua serat keberanian dan kecerdasan kita untuk membentuk kekuatan pribadi yang memenangkan rencana-rencana kita. Bila kita tidak menang sekarang, kita akan menang nanti.

Itu sebabnya, kejernihan dalam menyikapi kegagalan adalah pemungkin yang penting untuk memaksimalkan pencapaian hak kita untuk berhasil, untuk mencapai kecemerlangan yang kita cita-citakan. Pengenalan yang baik atas sifat-sifat kegagalan adalah penentu bagi ketepatan sikap dan tindakan-tindakan kita pada setiap upaya kedua kita. Maka, deskripsikanlah kegagalan dalam sifat-sifatnya yang asli.

Kegagalan adalah tanda tidak tepatnya arah. Dengannya, penyesuaian adalah nama perjalanannya.
Kegagalan adalah tanda tidak cukup baiknya cara, sehingga peningkatan adalah nama pelatihannya.
Kegagalan sebetulnya tertundanya sebuah keberhasilan. Oleh karena itu, kesabaran adalah nama penantiannya.
Kegagalan adalah tanda tidak cukupnya kekuatan. Itu sebabnya, kesungguhan adalah nama keharusannya.
Kegagalan adalah tanda akan adanya jaminan keberhasilan. Dan…, iman adalah nama keyakinannya.
Marilah kita sadari bahwa kita dibedakan dari orang biasa dari cara kita menyikapi kegagalan.
Kemudian, bila kita bersedia untuk melayani impian hati kita dengan kecintaan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain, kita tidak perlu lagi meramalkan keberhasilan kita. Dengannya, keberhasilan adalah hak yang pencapaiannya adalah sebuah kepastian.

Walaupun semua ustadz, kyai, da‘i, motivator dan inspirator telah menasihati kita untuk tetap tenang dalam menjalani hidup dan kehidupan, namun seringkali kita lupa, atau mungkin sengaja kita lupakan karena kita menutup diri dari nasihat. Setiap ada masalah, pikiran kita selalu resah, hati pun gelisah dibuatnya. Bahkan, kadang kala kita menyalahkan kehidupan itu sendiri. Padahal kita sudah diingatkan bahwa siapa pun yang berani menantang kehidupan, maka semua orang akan menjagokan kehidupan. Waktu memang tidak terbatas, namun waktu yang kita miliki sangat terbatas. Itulah nasihat yang sering disampaikan oleh tokoh-tokoh bijak.

Jika diri kita resah dan gundah, apa yang harus kita lakukan untuk menenangkan hati dan menentramkan jiwa? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita renungkan pertanyaan-pertanyaan pengantar berikut ini yang jawabannya sudah tersurat di dalamnya.

Siapakah yang paling mengerti sebuah lagu selain penggubahnya? Siapa yang lebih memahami lukisan selain senimannya? Siapakah yang mengenal dengan baik sebuah motor atau mobil jika bukan pabrik pembuatnya? Siapa yang lebih mengetahui indahnya sebuah bangunan bila bukan sang arsitektur? Lalu, siapa yang lebih mengerti tentang diri kita jika bukan Beliau Yang Menciptakan kita? Allah SWT jauh lebih mengerti tentang diri kita, bahkan dibandingkan kita sendiri.

Untuk menenangkan jiwa dan menentramkan hati, Allah SWT telah memberikan obat yang sangat mujarab kepada kita sebagai hamba dalam firman-Nya :
أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْـمَئِنُّ ٱلْقُلـُوْبُ
Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tentram.
(QS ar-Ra‘d [13] : 28)

‘Aidh al-Qarni menerangkan bahwa pada kalimat “menjadi tentram” mengandung arti kesejahteraan, seruan dan keindahan. Seolah-olah hati adalah tanah. Bagian datar adalah yang tentram sedang bagian terjal adalah yang keras dan gersang. Semoga awan Tuhan Yang Maha Pemurah menurunkan hujan wahyu ke dalam hati agar mendapatkan santapannya di setiap waktu dengan ijin-Nya—berupa dzikir, syukur, taubat, cinta dan rindu.
Hati yang tentram adalah hati yang bebas dari rasa takut, serta tenang mengharap janji Tuhannya dengan penuh keyakinan, tawakal dan kejujuran.
Hati yang tentram adalah hati yang terhibur dari duka cita, sehingga merasa bebas dari kegusaran dan kesedihan hati.

Hati yang tentram adalah hati yang hidup bahagia, diridhai oleh Tuhan, dan ia pun ridha pada Tuhannya.
Hati yang tentram adalah hati yang terbebas dari rasa bimbang dan terlepas dari rasa ragu; hati yang teduh, kokoh dan tak terguncang.
Hati yang tentram adalah hati yang tak terpilah-pilah, yang menyatukan kembali kekuatan dan arahnya.
Hati yang tentram adalah hati yang terpelihara dari godaan setan, dominasi hawa nafsu, serangan, tipu daya dan kejahatan musuh.
Kejujuran itu kekasih Allah. Keterusterangan merupakan sabun pencuci hati. Pengalaman itu bukti. Dan seorang pemandu jalan tidak akan membohongi rombongannya. Tidak ada satu pekerjaan yang lebih melegakan hati dan lebih agung pahalanya, selain berdzikir kepada Allah.
Berdzikir adalah surga Allah di bumi-Nya. Maka, siapa yang tak pernah memasukinya, maka ia tidak akan dapat memasuki surga-Nya di akhirat kelak.

Berdzikir kepada Allah merupakan penyelamat jiwa dari pelbagai kerisauan, kegundahan, kekesalan dan guncangan.
Berdzikir kepada Allah merupakan obat, penyembuhan, kesenangan dan kehidupan.
Dzikir merupakan jalan paling mudah untuk meraih kemenangan dan kebahagiaan hakiki.
Dengan berdzikir kepada Allah, awan ketakutan, kegalauan, kecemasan dan kesedihan akan sirna.
Dengan berdzikir kepada Allah, segunung tumpukan beban dan permasalahan hidup akan runtuh dengan sendirinya.

Wahai orang yang mengeluh karena sulit tidur, yang menangis karena sakit, yang bersedih karena sebuah tragedi, dan yang berduka karena suatu musibah, sebutlah nama-Nya yang suci.

Wahai yang pikirannya tertutup mendung tebal dan kelam, ingatlah kepada Allah, pasti menemukan kebahagiaan. Wahai yang sedang diliputi kesedihan dan dibimbangkan rasa murung, ingatlah kepada Allah, niscaya menjumpai kegembiraan. Wahai yang dibebani kesulitan dan diguncangkan permasalahan, ingatlah kepada Allah, maka rasa aman pasti didapatkan.

Wahai yang hatinya hancur, ingatlah kepada Allah, niscaya akan tenang.

Disebutkan sebuah hadits melalui Abu Musa al-Asy‘ari ra., bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda,
مَثَلُ الَّذِيْ يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِيْ لاَ يَذْكُرُهُ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir mengingat Tuhannya dan orang yang tidak berdzikir mengingat-Nya sama dengan orang hidup dan mati.”
(HR Bukhari)

Pertanyaannya adalah, “Apakah dalam kehidupan kita sehari-hari, jika kita gelisah, maka kita berdzikir kepada Allah untuk menentramkan hati? Ataukah kita melakukan hal yang lain?”

Coba kita tanyakan pada para pelajar, mahasiswa dan para pemuda. Jika pikiran mereka sedang ruwet dan perasaan pun tak enak, apakah mereka akan berdzikir kepada Allah untuk menenangkan jiwa? Mari kita tanyakan pada semua orang Islam, apakah cara yang diajarkan oleh Allah ini yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari ataukah cara yang lain?

Kalau disurvey, akan banyak sekali umat Islam—termasuk kita—yang tidak berdzikir kepada Allah untuk mengusir kegalauan jiwa. Mengapa? Mungkin kita akan menjawab, “Itu sudah saya lakukan, tapi kok tetap saja saya sumpek, gelisah dan resah.”

Barangkali para pelajar dan mahasiswa yang lebih terdidik dan intelek akan berujar, “Ah, itu kan dogma. Resep itu terlalu teoritis, perfeksionis, idealis dan tidak praktis!”

Kalau jawaban-jawaban kita seperti itu, entah apa yang akan kita lakukan jika kita berada di puncak bukit kesedihan atau di dasar lembah kegalauan. Tidak perlulah kita bayangkan apa yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat dalam menjalani hidup ini.

Bukankah kita senantiasa mengucapkan dua kalimat syahadat—sebuah persaksian bahwa Allah-lah Tuhan kita? Itu berarti kita ini makhluk-Nya. Kita pun sadar bahkan hapal di luar kepala tentang rukun iman. Apakah kita lupa bahwa rukun iman yang pertama adalah percaya kepada Allah? Murid-murid di sekolah dan para mahasiswa di kampus saja harus mengikuti saran para guru dan dosen untuk bisa lulus ujian. Karyawan di perusahaan juga harus tunduk dan mengikuti peraturan yang digariskan oleh manajemen untuk bisa bertahan dan tidak dikeluarkan, apalagi jika ingin naik jabatan.

Kalau sudah seperti itu lazimnya, mengapa kita tidak mengikuti anjuran Allah? Kuatirkah kita bahwa Allah akan menjerumuskan kita kepada hal-hal yang tidak memuliakan bahkan kepada penderitaan seumur hidup? Apakah kita meragukan kemampuan Allah, sedangkan Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa (Al-Qâdir Wa Al-Muqtadir) dan Maha Berdiri Sendiri/Maha Memenuhi Kebutuhan Makhluk (Al-Qayyûm)? Apakah kita mengira bahwa Allah adalah pendusta yang selalu mengabarkan berita bohong? Mâsyâ Allah. Kalau kita mengaku percaya (beriman) kepada Allah, lalu maka buktinya?
Iqbal, seorang penyair filosof asal Pakistan mengatakan, “Jika iman telah tiada, maka tidak ada lagi rasa aman. Tidak ada dunia bagi siapa saja yang tidak menghidupkan iman. Siapa rela dengan kehidupan tanpa agama, dia telah menjadikan kehancuran sebagai teman karibnya.”

Mungkin kitalah yang jarang sekali bahkan tidak pernah mengaji dan memperdalam ilmu. Bisa jadi kita mengira bahwa hal itu tidak banyak bermanfaat di kehidupan ini. Barangkali cara-cara belajar kita yang kurang tepat. Mungkin pula kita sudah mempelajari hal-hal yang terlampau jauh, padahal pondasi kita masih rapuh. Mungkin juga metode pengajarannya yang sudah waktunya dirubah. Bukankah telah dinasihatkan agar kalau seseorang mengajar orang lain, maka harus disesuaikan dengan kondisi orang yang belajar, baik latar belakang, budaya, tingkat pendidikan maupun pola pikirnya? Apakah semua ini terjadi karena kita senantiasa mengajarkan sebuah ilmu pada semua murid dengan cara yang sama? Padahal setiap orang itu unik, mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Kita tidak akan memperpanjang pembahasan tentang hal-hal tersebut. Marilah kita bersama-sama introspeksi (muhâsabah) diri, kemudian bersama-sama pula memperbaikinya.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa bertabiat mudah jenuh dan bosan, tidak bisa bertahan lama dalam satu seni aktivitas dzikir. Bila dipaksa melakukan satu cara saja, ia akan menampakkan kebosanan dan kejenuhan, padahal Allah tidak akan bosan hingga kita bosan. Maka, sikap yang diperlukan adalah memberikannya penyegaran dengan cara berganti-ganti dari satu seni ke seni lainnya, dari satu cara ke cara lainnya sesuai dengan waktu yang tepat. Dengan demikian jiwa akan merasa senang sehingga semangat dan ketekunannya dapat dipertahankan.

Bagaimana cara berdzikir kepada Allah yang akan menentramkan jiwa? Marilah kita pelajari dengan seksama.

a. Dzikir dengan pikiran
Jika kita sedang banyak keruwetan, maka sebaiknya kita pergi ke sebuah tempat dengan pemandangan indah, misalnya pegunungan yang sejuk beserta panoramanya yang memikat atau pantai yang indah. Bisa juga pergi ke taman safari atau kebun binatang untuk melihat perangai dan tingkah laku hewan-hewan yang beraneka ragam dan lucu-lucu.

Apakah itu sama dengan rekreasi? Ya, namun beda sekali dengan rekreasi yang saat ini kita kenal. Rekreasi yang sebenarnya didesain agar pikiran kembali tenang, ternyata tidak mencapai hasilnya. Ketika pulang rekreasi pada Minggu malam, hari Senin pagi malah membuat kita mengantuk dan malas beraktivitas, baik sekolah/kuliah (menuntut ilmu) maupun bekerja (beribadah untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengabdi kepada-Nya). Hasil rekreasi hanyalah setumpuk cucian dan badan keletihan. Bahkan pernah ada di sebuah perusahaan, pihak manajemen menawarkan apakah tahun itu mereka rekreasi atau dibagi uang saja, ternyata sebagian besar karyawan minta dibagi uang saja. Rekreasi yang kita kenal saat ini hanya sebuah rutinitas tanpa makna.

Hujjatul Islam (pengurai kebenaran Islam), al-Ghazali rahimahullâh memaparkan cara-cara berpikir (tafakkur) mengenai ciptaan Allah. Jika kita merenungkan makhluk Allah seraya menyertai pikir itu dengan tasbih, tahmid, takbir dan tahlil, niscaya kita akan menyaksikan dampaknya secara langsung terhadap hati dan jiwa.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
(QS Âli ‘Imrân [3] : 190-191)

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah… (QS al-A‘râf [7] : 185)

Maka apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikit pun?
Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).
(QS Qâf [50] : 6-8)

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS al-Mulk [67] : 3)
أَحَبُّ عِبَادَ اللهِ إِلَى اللهِ الَّذِيْنَ يُرَاعُوْنَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَاْلأَظِـلَّةَ لِذِكْرِ اللهِ تَعَالَى

Hamba yang paling dicintai Allah adalah orang-orang yang memperhatikan matahari, bulan dan bayang-bayang untuk mengingat Allah. (HR Thabrani dan Hakim)

Para ulama berpesan, “Bacalah alam semesta dan renungkanlah makhluk-makhluk yang ada!” Bacalah matahari yang memancarkan sinar, bintang-gemintang yang gemerlapan, purnama yang memukau, sungai-sungai dan sumber air, tetumbuhan dan bunga, serta gunung dan lembah.

Mampukah manusia dengan kekuatan fisiknya menundukkan laut dengan ombak dan gelombang membahana? Kuasakah manusia dengan ilmunya menahan peredaran matahari untuk menambah secercah cahayanya? Bisakah manusia dengan teknologinya memperpanjang sesaat dari gelapnya malam?

Seorang penyair berkata :
Perhatikan pepohonan yang memiliki ranting-ranting ranum
Siapakah yang meluruskannya hingga batangnya menjadi tegak
Dialah Allah yang memberinya karunia yang ditakdirkan
Padanya kekuasaan Maha Agung dan hikmah yang terbagi

Syaikh Ibnu Athaillah menjelaskan, “Berpikir itu perjalanan hati di dalam semua lapangan kehidupan makhluk. Berpikir juga merupakan pelita hati. Apabila padam, maka sirnalah cahaya terang dari hati itu.”

Berpikir merupakan jalannya perasaan yang dikirimkan melalui otak manusia untuk dilaksanakan oleh anggota badan dan panca indra. Hamba Allah yang suka berpikir akan menghidupkan ruhaninya, menyegarkan otaknya dan menggiatkan pelaksanaan ibadahnya. Oleh karena itu, agama Islam menganjurkan mempergunakan akal pikiran untuk menganalisa, meneliti semua makhluk dan alam ciptaan Allah; agar iman dan keyakinan semakin hidup dan tinggi mutunya.

Bila kita mengunjungi sebuah pegunungan dengan pemandangan yang begitu menarik mata, kokoh di bawah langit biru, menyentuh relung-relung kalbu, maka katakanlah dengan lamat-lamat, “Ya Allah, betapa Engkau Maha Indah.

Engkau sungguh menyukai keindahan. Lukisan yang begitu menakjubkan ini, membuat mata hamba terasa sejuk... Hati hamba pun tentram sekali berada di sini. Wahai Tuhanku, tiada satu pun yang Engkau ciptakan sia-sia.

Kesempurnaan-Mu-lah yang membuat setiap bagiannya tersusun dan tertata dengan sangat teratur...”

Mata kita yang begitu sempurna diciptakan oleh-Nya akan berkaca-kaca dibuatnya. Air mata pun tak terasa akan merayap lambat menuruni hamparan pipi yang lembut. Jiwa kita pasti tenang. Nah, bukankah dengan berdzikir kepada Allah hati akan tentram?

Dari sisi medis, pengalaman indah seperti ini akan terekam dengan baik di otak. Apa yang kita lihat akan diteruskan pada bagian otak yang disebut thalamus, yang menerjemahkan dalam bahasa otak. Thalamus meneruskannya pada bagian dari otak berpikir (neocortex), yaitu visual cortex. Hasil penglihatan kita akan direkam sehingga bila kita datang lagi kita bisa mengenalinya. Dengan melakukan tafakkur seperti di atas, kita juga telah memberi rekaman yang sangat bagus pada sistem limbik (otak emosional). Hippocampus dan amygdala akan mencatat dengan detail bahwa tempat itu bisa sebagai sarana yang membawa keteduhan dan ketenangan.

Lebih jauh, kesadaran tentang keagungan dan kekuasaan Allah akan membuat tawakal kita meningkat. Kepasrahan penuh kepada Allah membuat kita mempunyai strategi penanggulangan adaptif (coping mechanism) yang baik. Mekanisme coping adalah suatu mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang diterima. Apabila coping ini berhasil, maka kita dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut dan akan merasakan beban berat menjadi ringan.

Selain itu, efektifitas coping memiliki kedudukan yang amat sentral dalam ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit, baik penyakit fisik maupun psikis. Efektifitas ini tidak hanya terbatas pada sakit yang ringan saja, tetapi juga sangat efektif pada penyakit-penyakit berat. Apabila kita mempunyai mekanisme coping yang efektif dalam menghadapi stressor, maka stressor tidak akan menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi sebaliknya, stressor justru menjadi stimulan yang mendatangkan kebaikan/kesehatan (wellness) dan prestasi.

Hebatnya cara kerja otak manusia beserta kesempurnaan keseluruhan bagian tubuh adalah sarana untuk tafakkur juga. Hanya saja kita jarang sekali memperhatikan bagaimana kehebatan ciptaan Allah yang berupa manusia—diri kita sendiri. Mungkin karena kecenderungan diri kita adalah kurangnya syukur, maka kita jarang sekali bahkan bisa dikatakan tidak pernah melakukan perenungan atas tubuh kita, padahal Allah telah berfirman,
وَفِيْۤ أَنْفُسِـكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
“dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS adz-Dzâriyât [51] : 21)

Coba kita perhatikan bagaimana kalau salah satu bagian tubuh kita ada yang sakit, sungguh tidak enak rasanya. Mari kita telaah lagi salah satu indra kita, yaitu mata. Sepasang mata memiliki daya tangkap yang kuat luar biasa. Mata adalah indra yang bisa menyampaikan petunjuk terkuat dan ternyata. Mata adalah indra yang sangat terkontrol kerjanya. Mata adalah pemimpin bagi jiwa yang terpercaya. Mata adalah petunjuk yang mengarahkan. Mata adalah cermin bening yang menggambarkan hakikat sesuatu apa adanya. Lewat mata, sifat-sifat manusia bisa diketahui perbedaannya. Lewat mata, berbagai obyek bisa dimengerti maksudnya. Persis seperti pepatah bilang, “Berita tidaklah sama dengan fakta.” Pandangan mata juga bisa menggantikan peran kata-kata.

Inginkah kita menukar mata kita dengan emas sebesar gunung? Apakah kita mau menjual pendengaran kita seharga perak satu bukit? Adakah kita mau membeli istana-istana yang menjulang tinggi dengan lidah kita sehingga kita bisu? Maukah kita menukar kedua tangan dan kaki kita dengan untaian mutiara, sementara tangan dan kaki kita buntung?

Maka, nikmat Allah manakah yang kita dustakan? Dengan memperhatikan, meneliti dan mempelajari tubuh manusia, sungguh kita akan mengetahui, menyaksikan dan mengakui ke-Mahakuasaan Allah. Hal itu akan membuat diri kita banyak bersyukur sehingga menjadi tenanglah diri kita dalam menghadapi setiap kejadian di kehidupan ini.

Kalau mau dibandingkan, andaikata semua profesor di dunia ini diminta untuk membuat robot yang bisa melakukan shalat berjamaah dengan baik, apakah mereka mampu? Robot-robot tersebut harus mampu mengatur shaf dengan lurus dan rapat, menghadap kiblat dan mengikuti gerakan imam dengan serempak. Setelah imam membaca surah al-Fâtihah menurut qira’ah Imam ‘Ashim dari riwayat Imam Hafsh bin Sulaiman—sebagaimana lazim diajarkan di Indonesia—semua makmum yang terdiri atas robot harus bersama-sama membaca âmîn (kabulkanlah, ya Allah). Jika robot imam batal, maka robot yang bermakmum di belakang imam akan langsung maju menggantikan. Bila ada beberapa robot mau keluar masjid sedang lainnya mau masuk masjid, maka tidak boleh bertabrakan.

Bukankah sangat sulit mewujudkannya? Tentunya semua itu membutuhkan neural network (jaringan saraf tiruan), digital image processing (pemrosesan citra digital), decision support system (sistem pendukung keputusan), sistem pakar dan gabungan berbagai disiplin ilmu. Kalau di sinetron atau film, itu memang bisa dilakukan karena yang berperan sebagai robot adalah manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Subhânallâh, betapa indahnya tafakkur seperti ini. Bukankah dengan berdzikir kepada Allah, hati ini menjadi tentram?

Bila kita berdarma wisata, di tempat wisata yang begitu memesona, angin berhembus membawa kehidupan. Itu juga salah satu tanda kedermawanan Allah Yang Maha Pengasih (Ar-Rahmân). Udara begitu lembut, tubuhnya dapat dirasa dengan indra perasa, namun wujudnya tak dapat dilihat dengan indra penglihatan. Jumlahnya seperti lautan. Burung-burung bergelayutan di udara langit, berlomba dan berenang di dalamnya dengan sayap-sayapnya, sebagaimana hewan laut berenang di dalam air.

Kemudian, marilah kita lihat bagaimana kelembutan udara dan kekuatannya bila ditekan di dalam air. Balon berisi udara tidak dapat ditenggelamkan oleh orang yang sangat kuat, sedangkan besi yang keras dan padat tenggelam bila diletakkan di atas permukaan air. Bagaimana udara itu tertahan air dengan kuatnya meskipun ia sangat lembut? Dengan hikmah inilah Allah menahan perahu dan kapal di atas permukaan air.

Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS an-Nahl [16] : 14)

Lebih detail tentang air, sekarang mari kita amati awan tebal yang gelap. Bagaimana kita melihatnya terkumpul di udara yang bersih tanpa kotoran? Bagaimana Allah menciptakannya? Sekalipun awan itu ringan, tapi ia membawa banyak air dan menahannya di udara langit hingga Allah mengijinkan pengiriman air dan curahan hujan. Setiap tetes sesuai dengan ukuran dan dalam bentuk yang dikehendaki-Nya. Kita melihat awan mengguyur air ke suatu wilayah dan mengirim banyak tetesan yang terputus-putus, satu tetesan tidak mendahului dan tidak menyentuh tetesan yang lain. Bahkan, setiap tetes turun di jalan yang telah ditentukan tanpa meleset sedikit pun hingga sampai di tanah setetes demi setetes.

Coba kita renungkan. Andaikata kita mempunyai sebuah tandon di atap rumah yang menampung sekian banyak air, kemudian tandon itu kita lubangi agar meneteskan air seperti hujan, tentunya air akan mengalir secara kontinyu—tidak terputus-putus seperti hujan. Apakah kita harus membuka lalu menutup dengan cepat dan begitu seterusnya supaya tetesan air dari tandon bisa seperti air hujan? Betapa kompleksnya hal itu. Ataukah kita akan meniru cairan infus yang bisa menetes perlahan-lahan? Berapa banyak selang dan pengatur tetesan air yang diperlukan? Barangkali kita mau membuat tandon berlapis-lapis sehingga tetesan air bisa berjalan perlahan antar lapisan tandon?

Sekiranya orang-orang terdahulu dan orang-orang yang akan datang bersatu untuk mengetahui jumlah tetesan air hujan yang turun di suatu negara atau yang lebih kecil—satu propinsi—niscaya membutuhkan sekian banyak mainframe bahkan super komputer, jika tidak mau dikatakan tidak akan kuasa melakukannya. Selain itu, pada proses perubahan air yang lembut dalam udara yang amat dingin menjadi salju yang turun bertebaran seperti kapas putih, sungguh keajaiban yang tak terhingga. Tidakkah dengan berdzikir kepada Allah seperti ini membuat hati kita menjadi tentram? Dalam bait puisinya, Ibnu Hazm berpesan pada kita :
Duhai kawan tercinta
Ingatlah! Dia yang menaungi bumi dengan langit-Nya
Ingatlah! Semua ada dalam genggaman ilmu-Nya
Dia cipta semesta raya berikut aturan yang ada
Siang dan malam bergilir atas kekuasaan-Nya
Dia turunkan hujan lalu tumbuhlah bebijian
Dia tumbuhkan bunga dengan aneka warna
Dia sebarkan aneka aroma dan keindahan
Dia jadikan pepohonan hijau menyejukkan
Dia ciptakan air sebagai sumber kehidupan
Dia terbitkan matahari penuh cahaya
Terang di pagi hari, menguning bila petang menyapa
Apabila kita pergi ke taman safari atau kebun binatang, kita bisa menyaksikan berbagai tingkah binatang. Apalagi jika terdapat pertunjukan sirkus yang menampilkan hewan-hewan terlatih, misalnya anjing laut, lumba-lumba, gajah dan singa. Perilaku hewan-hewan itu sungguh menakjubkan dan kadang membuat geli, sehingga kita pun tertawa dibuatnya. Sungguh sebuah kejadian yang tak terlupakan.

Pada saat-saat seperti itu, alangkah tentramnya hati ini jika dengan tenang kita berucap, “Maha Suci Engkau, Ya Allah. Engkaulah Sang Maha Pencipta dengan kreasi yang sangat luar biasa... Engkau ciptakan hewan-hewan ini dengan perangai dan fungsi masing-masing. Dunia ini pun tetap terjaga keseimbangannya walaupun terkadang makanan hewan yang satu adalah hewan lainnya. Engkaulah Yang Maha Memelihara alam semesta ini...”
Tentang tafakkur akan ciptaan Allah, dalam buku “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, ‘Aidh al-Qarni mengajak kita untuk merenungkan ayat Al-Qur’an yang membahas salah satu makhluk Allah yang menyapa kita tiap hari, yaitu waktu Subuh.
وَٱلصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ
Dan demi Subuh apabila fajarnya mulai menyingsing.
(QS at-Takwîr [81] : 18)

Waktu Subuh adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang menunjukkan keelokan dan keindahan ciptaan-Nya. Proses munculnya sangat indah dan wajahnya berseri memancarkan keagungan dan keindahan. Siapa yang ingin mengetahui indahnya waktu pagi hendaknya merenungkan kedatangannya usai shalat Subuh. Fajar merangkak perlahan-lahan seperti hilangnya penyakit dari dalam tubuh atau air yang merambat di atas sebatang kayu. Fajar datang merayap di belakang tentara kegelapan, kemudian menggulungnya. Alam semesta laksana raut wajah yang sedang berseri, lekuk-lekuknya bersinar, dan bibirnya menyungging senyum ceria.

Alangkah indahnya waktu pagi! Angin sepoi berhembus, cahaya sendu nan hangat memancar, dan derap langkah kehidupan mulai bergerak. Bunga-bunga bermekaran dengan angkuh, pepohonan berembun, dan dedaunan mengembang seolah bibir sepasang kekasih yang melontarkan pertanyaan yang membingungkan. Serbuk sari pun terbelah seperti mata para kekasih mengedipkan rahasia-rahasia terpendam.

Di pagi hari, suara bergema, embun menetes, angin gemerisik, air gemericik, burung pipit berkicau, merpati bersajak, dan bulbul bernyanyi. Di pagi hari, para petani pergi ke sawah, penggembala menggiring kawanan dombanya ke padang, siswa pergi ke sekolah, dokter pergi ke rumah sakit, pedagang membuka kedai, pegawai berangkat ke pabrik dan profesional ke kantornya. Pendek kata, waktu pagi adalah tanda dimulainya kehidupan baru, pengumuman akan datangnya hari baru yang menyimpan kesungguhan, bekerja, dedikasi dan perkembangan.

Pagi adalah hari yang bernafas (tanaffas) seolah sedang bersedih karena kehilangan kekasih, nafasnya yang hangat berhembus dari dalam rongga tubuhnya. Atau seperti orang tertekan yang mengeluhkan rasa sakit hingga mengeluarkan rintihan dalam perutnya. Atau seperti orang yang mendapat perlakuan sewenang-wenang hingga hatinya lebur karena kezhaliman itu dan ruhnya meledak karena nafas yang tersengal-sengal.

Alangkah indahnya ungkapan Al-Qur’an. Setiap ruas dari lafalnya mengandung mutiara. Siapa tahu, barangkali waktu pagi itu bernafas setelah malam panjang, berat, gelap dan sepi. Atau mungkin juga pagi itu bernafas seperti bernafasnya orang yang riang karena bertemu dengan kekasihnya. Itu semua karena pagi datang dengan membawa hari baru yang indah, hidup yang serius, serta gerakan cepat untuk bekerja dan berkorban. Jelasnya, waktu pagi ini semula nafasnya tersumbat dan isi perutnya tertekan, kemudian datang saat meluncur hingga bisa bernafas dengan lega. Subhânallâh. Bukankah dzikir dengan berpikir seperti ini membuat hati menjadi tentram?

b. Dzikir dengan telinga
Dzikir dengan telinga merupakan salah satu bentuk dzikir dengan perbuatan (af‘âl). Dzikir dengan telinga artinya kita mendengarkan kalimat-kalimat baik atau nasihat-nasihat bijak yang mengingatkan kita kepada Allah. Saat ini banyak sekali da‘i dengan metode masing-masing. Mungkin tidak semua mengena dengan kondisi kita. Oleh karena itu mendengarkan berbagai nasihat dari banyak ulama akan sangat membantu. Hal ini bisa dimaklumi karena setiap juru dakwah mempunyai teknik pidato (retorika) masing-masing. Ada yang menggunakan Langgam Agama, Langgam Agitasi, Langgam Konservatif, Langgam Didaktik, Langgam Sentimentil, Langgam Teater, Langgam Statistik atau gabungan beberapa langgam. Begitu pula pemilihan kata, intonasi, tempo dan ciri khas suara, setiap da‘i berbeda antara satu dengan lainnya.

Mendengarkan seorang motivator dan inspirator yang notabene bukan da‘i juga diperbolehkan, selama apa yang disampaikan adalah kebaikan dan tidak bertentangan dengan aqidah dan syariat agama Islam. Sama halnya dengan dzikir, hal ini harus dilakukan terus-menerus secara istiqamah. Menurut seorang motivator, nasihat-nasihat bijak ibarat mandi. Setelah mendengarkan nasihat, maka orang akan tenang dan bersemangat seperti habis mandi, badan segar-bugar dan pikiran pun penuh inspirasi. Namun, setelah melakukan aktivitas, maka badan terasa lelah, tubuh dan wajah kotor serta pikiran ruwet. Karena itu harus mandi lagi untuk mengembalikan ke kondisi semula.

Dzikir dengan telinga bisa juga dilakukan dengan mendengarkan nasyid, shalawat atau mendengarkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dibacakan oleh seorang qari’. Dengan ilmunya, qari’ akan membaca dengan penuh penghayatan (tadabbur). Lagu-lagu qira’ah sudah pasti dikuasainya dengan baik, misalnya bayâtî, bayâtî sûrî, bayâtî qarâr, husayni, rasta ‘alâ an-nawâ, nahawân, shabâ, sîkâ, hijâz dan lagu-lagu lainnya. Walaupun kita belum mengerti arti ayat-ayat yang dibaca, cara ini tetap akan membuat pikiran dan jiwa kita tenang. Apalagi bila kita sudah memahaminya, sehingga bisa ikut larut dalam penghayatan sang qari’.

Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik dapat menghibur perasaan sedih, menenangkan jiwa yang gelisah, melunakkan hati yang keras serta mendatangkan petunjuk. Itulah yang dimaksudkan dengan rahmat Allah, yang diberikan kepada orang yang mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik.
وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ ُ وَأَنْصِتُوْا لَعَلَّـكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah (baik-baik) dan perhatikanlah dengan tenang, agar kamu mendapat rahmat. (QS al-A‘râf [7] : 204)

Demikian besar mukjizat Al-Qur’an sebagai wahyu Ilahi, sehingga takkan bosan orang yang membaca dan mendengarkannya. Semakin sering orang membaca dan mendengarkannya, semakin terpikat hatinya kepada Al-Qur’an. Bila Al-Qur’an dibaca dengan lidah yang fasih, dengan suara yang baik juga merdu, akan lebih memberi pengaruh kepada jiwa orang yang mendengarkan dan bertambah pula imannya.

Dr. Masaru Emoto dari Jepang sudah membuktikan secara ilmiah bahwa air yang dibacakan doa atau kalimat baik akan membentuk struktur molekul yang sangat indah. Bukankah 70% tubuh kita terdiri dari air? Bukankah itu berarti ketika kita mendengarkan wahyu Ilahi dibacakan, maka air di tubuh kita akan membentuk susunan yang teratur dan sempurna? Subhânallâh.

‘Aidh al-Qarni menuturkan, “Riuhnya permasalahan hidup, kegelisahan orang-orang sekitar, dan pengaruh yang ditimbulkan oleh orang lain sangat potensial untuk menggoyahkan jiwa, menguras kekuatan fisik dan mencabik-cabik ketenangan hati. Dalam suasana seperti itu, ketenangan hanya didapatkan dalam Kitab Allah dan berdzikir kepada-Nya.”

Sambil rebahan di atas tempat tidur, kita bisa mendengarkan kalâm Ilahi dibacakan. Jika qari’ membaca ayat-ayat yang menceritakan kegembiraan atau surga, maka irama dan suaranya akan membuat imajinasi kita terbang ke tempat-tempat sejuk—ke sebuah danau bening di tengah hutan yang penuh buah-buahan. Terkadang ke suasana senja yang indah, merah merona di tepi pantai yang menakjubkan. Bahkan bisa membawa kita ke dunia memesona di dalam laut, dengan ikan-ikan hias dan bebatuan yang seperti permata-permata di surga.

Suara qari’ yang merdu akan mengelus-elus saraf-saraf kita, terasa seperti hawa dingin turun dari langit, menetes deras ke dalam ubun-ubun kepala, lalu menyebar ke seluruh tubuh. Apalagi jika kita mendengarkannya di saat malam. Di keheningan malam, suara syahdu yang melafal terasa seperti memecah sunyi, membelah dan mengiris hati. Membahana dalam ruas-ruas malam, berpadu dengan suara-suara malam, lindap dalam kesunyian. Lantunan ayat-ayat suci menelusup pada rongga-rongga telinga kita. Suara yang menyentuh gendang telinga itu terasa lembut bak kain sutra—mendayu merdu—seperti air yang mengalir dari sebuah muara hening, menjadikan gulana jiwa tertunduk, tanpa kata.

Tatkala ayat-ayat yang dibaca menceritakan penderitaan, penyesalan atau neraka, maka qari’ akan membacanya dengan irama yang menggambarkan penyesalan penuh, juga kesedihan karena takut tidak mendapat karunia dari Allah. Nada-nada itu akan memandikan hati dan mata kita dengan air mata yang penuh harap akan ampunan dan ridha-Nya. Membuat hati kita bergetar bagai terguncang badai, demi mendengar asma Allah Yang Maha Agung (Al-‘Azhîm).

“Ya Allah, betapa malunya hamba. Betapa hamba telah menjadi manusia yang lalai dari tanggung jawab sebagai hamba-Mu. Hamba telah begitu jauh menapak dalam gelimang naif, meniti nikmat dalam wajah-wajah dosa. Yâ Hayyu yâ Qayyûm Lâ ilâha illâ Anta, Subhânaka innî kuntu minazh zhâlimîn. Ya Allah, jika engkau tidak mengampuni dosa-dosa hamba, maka hamba akan termasuk golongan orang-orang zhalim. Ampunilah dosa-dosa hamba. Terimalah taubat hamba. Sesungguhnya Engkau Maha Menerima Taubat, amin,” getir kita dalam hati.

Rasulullah sangat gemar mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari orang lain. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan, bahwa Abdullah Ibnu Mas‘ud menceritakan sebagai berikut : Rasulullah berkata kepadaku,
“Wahai Ibnu Mas‘ud, bacakanlah Al-Qur’an untukku!”
Lalu aku menjawab,
“Apakah aku (pantas) membacakan Al-Qur’an untukmu, wahai Rasulullah, padahal Al-Qur’an itu diturunkan Tuhan kepadamu?”
“Aku senang mendengarkan bacaan Al-Qur’an itu dari orang lain.”
Kemudian Ibnu Mas‘ud dengan khusyu‘ membaca beberapa ayat dari QS an-Nisâ’ [4]. Bacaan Ibnu Mas‘ud itu sampai pada ayat ke-41 yang berbunyi :
فَكَيْفَ إِذَا جِئْـنَا مِنْ كُلِّ أُمَّـةٍ بِشَـهِيْدٍ وَجِئْـنَا بِكَ عَلىٰ هٰـۤؤُلآءِ شَهِيـْدًا
“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul dan nabi) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatankan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (umatmu).” (QS an-Nisâ’ [4] : 41)
Ayat itu sangat mengharukan hati Rasulullah, lalu beliau berkata,
“Cukuplah sekian saja, wahai Ibnu Mas‘ud!”
Ibnu Mas‘ud melihat Rasulullah meneteskan air mata serta menundukkan kepala.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.
(QS al-Anfâl [8] : 2)

KH. Abdurrahman Navis, Lc—Pengasuh Pesantren Nuruh Huda, Jl. Sencaki 64 Surabaya— menjelaskan bahwa Imam Ghazali menerangkan dengan detail tentang “hati”. Kata “hati” memang bermakna dua, yaitu majazi (metafora) dan keseluruhan yang ada di dalam dada (hati, nurani, ruhani, dan sirri). Namun, secara mudah, bila mau diterapkan dalam tataran fisik, “gemetarlah hati” berarti seluruh tubuh gemetar, termasuk tangan dan kaki.

Dari penjelasan beliau, penulis menyimpulkan bahwa gemetarnya seluruh tubuh berarti termasuk di dalamnya adalah berdegupnya jantung, yang dalam bahasa Arab disebut qalb. Wallâhu a‘lam. Bukankah jantung kita akan berdetak dengan lebih kencang tatkala orang yang kita hormati apalagi kita cintai disebut namanya? Apalagi yang disebut adalah Allah, Dzat Yang Menciptakan kita, Sang Kekasih Sejati. Bukankah kita diajarkan untuk mencintai Allah dan rasul-Nya?

Imam al-Ghazali memberi nasihat, “Yang berhak dicintai hanyalah Allah. Semua kecintaan kembali kepada-Nya.” Mencintai Allah tidak seperti mencintai manusia. Mencintai manusia terdapat prinsip memberi dan menerima (give and receive). Itulah jalan yang ada di dalam jalan hidup manusia. Kita mencintai dan menerima cinta seseorang berarti bersedia memberi kepadanya, karena ia mencintai kita. Demikian pula sebaliknya. Hal ini berbeda dengan mencintai Allah. Kita mencintai Allah, karena Allah patut dicintai.

Allah adalah Kekasih Sejati yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya walaupun kita tidak meminta.
Allah adalah Kekasih Sejati yang tak pernah memutuskan cinta-Nya kepada kita, justru kitalah yang melakukannya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang tak pernah pergi meninggalkan kita, malah kita sendiri yang meninggalkan-Nya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang senantiasa menunggu kita untuk kembali pada-Nya, walaupun kita telah pergi entah kemana.
Allah adalah Kekasih Sejati yang mendekat kepada kita, melebihi pendekatan kita pada-Nya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang selalu memaafkan semua kesalahan yang telah kita lakukan, meskipun itu kesalahan besar, asalkan tidak menyekutukan-Nya.
Allah adalah Kekasih Sejati yang tetap mengampuni seorang anak manusia walaupun telah menduakan-Nya, asalkan bertaubat dan kembali ke jalan-Nya sebelum nyawa sampai di tenggorokan.
Bagaimana mungkin seseorang mencintai dirinya tapi dia tidak mencintai Tuhannya yang telah memberikan segenap karunia di kehidupan ini? Diumpamakan seperti seseorang yang terkena terik matahari, lalu ia bernaung di bawah pohon yang rindang. Kesenangannya pada naungan itu secara otomatis akan membawanya kepada kesenangan akan pohon, karena pohonlah yang memberikan naungan kepadanya.

Setiap makhluk hidup berkaitan dengan kekuasaan Allah, sebagaimana naungan berkaitan dengan pohon dan cahaya berkaitan dengan matahari. Maka sangat tidak masuk akal apabila kita mencintai semua anugerah yang kita nikmati, tetapi tidak mencintai Dzat yang telah memberikan itu semua.

Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, “Ibadah mengandung dua dasar, yaitu cinta dan penyembahan. Menyembah berarti merendahkan diri dan tunduk. Siapa mengaku cinta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa tunduk tapi tidak cinta, juga tidak dikategorikan orang yang menyembah.”

Dengan penjelasan di atas, bukankah dengan berdzikir kepada Allah Yang Maha Pengampun (Al-Ghaffâr), hati kita menjadi tentram?

c. Dzikir dengan lisan
Dalam syairnya, ‘Aid al-Qarni berpesan :
Perbanyaklah dzikirmu pada-Nya di bumi selalu
Agar engkau disebut di langit kala Dia mengingatmu
Perlu diingat lagi bahwa shalat juga termasuk dzikir. Jika kita diliputi ketakutan, dihimpit kesedihan dan dicekik kerisauan, maka segeralah bangkit untuk melaksanakan shalat, niscaya jiwa kita akan kembali tentram dan tenang. Sesungguhnya shalat itu—atas izin Allah—sangatlah cukup untuk hanya sekadar menyirnakan kesedihan dan kerisauan. Shalat merupakan penyejuk hati dan sumber kebahagiaan. Namun demikian, shalat tidak akan dibahas di sini.

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka Sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS Thâhâ [20] : 14)

Dzikir dengan lisan bisa dilakukan dengan membaca Al-Qur’an baik sendiri atau berjamaah secara bergantian (tadarrus). Dari Abu Hurairah ra., Rasululullah Muhammad saw. bersabda :
Bagi kaum yang suka berjamaah di rumah-rumah ibadah, membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan mengajarkannya terhadap sesamanya, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketentraman, akan terlimpah kepadanya rahmat dan mereka akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan selalu mengingat mereka. (HR Muslim)

Pada suatu hari, datanglah seseorang kepada Sahabat Ibnu Mas‘ud ra. untuk meminta nasihat. Orang itu berkata,
“Wahai Ibnu Mas‘ud, berilah nasihat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang gelisah. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram, jiwaku gelisah dan pikiranku kusut; makan tak enak, tidur pun tak nyenyak.”
“Kalau penyakit itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu :

1. Ke tempat orang membaca Al-Qur’an, engkau baca Al-Qur’an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya
2. Engkau pergi ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah
3. Engkau cari waktu dan tempat sunyi, di sana engkau berkhalwat menyembah Allah—umpama di waktu tengah malam buta di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, meminta dan memohon kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati.

Seandainya jiwamu belum juga terobati dengan cara ini, engkau minta kepada Allah agar diberi-Nya hati yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu bukan lagi hatimu,” nasihat Ibnu Mas‘ud.

Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannya nasihat Ibnu Mas‘ud. Dia pergi mengambil wudhu kemudian diambilnya Al-Qur’an, terus dia baca dengan hati yang khusyu‘. Selesai membaca Al-Qur’an, berubahlah kembali jiwanya, menjadi jiwa yang tenang dan tentram, pikirannya jernih dan kegelisahannya hilang sama sekali.

Selain dengan membaca Al-Qur’an, bisa juga dengan lafazh-lafazh dzikir yang lain, misalnya tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan istighfar. Kalau sendirian terasa cepat lelah dan rasa malas menghampiri, maka kita bisa berjamaah dalam melakukannya. Lebih baik lagi di bawah bimbingan seorang guru, ustadz atau kyai. Hal ini supaya selain sebagai amalan, kita pun mendapatkan penjelasan atau ilmu tentang apa yang kita baca dalam dzikir. Dengan demikian kita tidak termasuk dalam golongan taqlid buta, hanya ikut-ikutan tanpa tahu ilmunya.
Jangan sampai kita salah dalam melangkah karena tidak punya ilmu yang benar. Cahaya di ujung terowongan akan kita kira jalan keluar, padahal itu sinar lampu kereta api yang akan menabrak kita. Salah seorang yang mengaku cendekiawan muslim pernah ditanya,
“Apakah kamu mengerjakan shalat?”
“Aku tidak perlu melakukah shalat lagi karena hatiku sudah bersih,” jawabnya.
Lalu dikatakan,
“Mâsyâ Allah, apakah kamu lebih mulia daripada Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabatnya, di mana mereka mengerjakan shalat sampai meninggal dunia. Sungguhkah engkau melebih mereka? Kamu telah melakukan yang tidak pernah mereka lakukan.”
Alhamdulillâh setelah diskusi, orang itu bertaubat dan kembali mengerjakan shalat serta ibadah-ibadah lainnya.

Ada juga sebagian kelompok yang mengaku diri mereka ahli tasawuf berpendapat, “Siapa yang telah mencapai maqam ma‘rifat (tingkatan mengenal Allah), maka telah diangkat segala kewajiban agama (taklîf) atas dirinya.”

Ketika pendapat ini didengar oleh seorang sufi besar, Abul Qasim al-Junaid bin Muhammad, ia berkata, “Benar, mereka telah sampai ke neraka Saqar.” Mereka yang salah jalan tersebut berpegang pada firman Allah QS al-Hijr [15] : 99, yang dipahami dengan keliru.

وَٱعْـبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِيْنُ
dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (QS al-Hijr [15] : 99)

Kata “yang diyakini” (bila terjemahnya tekstual, tidak ada penjelasan “ajal”) pada ayat di atas, ditafsirkan oleh para ahli tafsir (mufassir) dengan kematian, karena ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Terbukti, mereka beribadah kepada Allah sampai datang kematian kepada mereka. Jadi, bukannya setelah yakin kepada Allah lantas kita tidak perlu shalat.

Jika saja mereka berpikir dengan pikiran yang sehat, maka mereka akan mengetahui bahwa ma‘rifatullâh (mengenal Allah) bukanlah akhir sebuah perjalanan, melainkan permulaan perjalanan untuk mencapai hakikat ibadah kepada-Nya. Bagaimana mungkin mereka menjadikan sesuatu permulaan menjadi akhir sebuah perjalanan?

Selain itu, terdapat sebagian kelompok yang menamakan dirinya sebagai aliran batiniah (kebatinan) yang mengaku bahwa diri mereka telah keluar dari sifat-sifat manusia biasa, sehingga mereka tidak dibebani kewajiban-kewajiban syariat seperti manusia lain. Sungguh mereka telah tersesat. Na‘ûdzubillâh min dzâlikum.

Berdzikir secara berjamaah terkadang bahkan seringkali lebih mengena pada diri kita, terutama karena kita adalah orang awam, belum mencapai maqam (tingkatan) yang cukup.

Penulis pernah menghadiri sebuah majelis dzikir. Pada saat sedang membaca kalimat tahlil (Lâ ilâha illâh), tidak dipergunakan pengeras suara—murni suara para jamaah. Ternyata, efek yang timbul dalam diri sungguh berbeda dari biasanya. Suara dzikir para jamaah menyatu padu, menggema, membahana, membumbung tinggi ke angkasa, memanggil-manggil para malaikat untuk turun ke bumi; mengajak semua makhluk—angin, bunga, dedaunan, burung dan semuanya—untuk bersama-sama menyucikan asma Allah; serta mengundang senyum bidadari, senyuman yang menyejukkan hati, teduh memandikan jiwa yang sepi.

Teknik sederhana seperti ini bisa membuat bulu kuduk berdiri, hati bergetar, dan air mata pun tak kuasa lagi tertahan—meleleh membasahi pipi. Masalah yang berat terasa ringan seketika. Bahkan, seolah-olah kita menantang masalah tersebut dengan lantang, sebagaimana ungkapan ‘Aidh al-Qarni :
Membesarlah duhai nestapa, niscaya engkau akan sirna
Malammu telah bertitah pada sang fajar, untuk segera merekah

Tentang majelis dzikir, diriwayatkan dari Sahabat Anas bin Malik, Rasulullah Muhammad saw. bersabda :
إِذَا رَأَيْتُمُ الْجَنَّةَ فَارْتَعُوْا بِهَا، قِيْلَ لَهُ : وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ : مَجَالِسُ الذِّّكْرِ
Jika kamu melihat surga, maka merumputlah (bermain-mainlah) di (kebun)nya. Ditanyakan kepada beliau, “Apa itu kebun surga?” Jawab beliau, “Majelis dzikir.” (HR Tirmidzi)

Abu Bakar asy-Syibli mengatakan, “Tidakkah Allah telah berfirman, ‘Aku duduk di sisi orang yang mengingat-Ku. Apa yang kalian peroleh, hai manusia, dari majelis Al-Haqq ini?’ ”

Penjelasan tentang keutamaan majelis dzikir terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah ra. di dalam kitab “Al-Lu’lu’ wal-Marjân – fî mâ Ittafaqa ‘Alayhi asy-Syaykhân” bab Fadhilah Majelis Ahli Dzikir.

Sesungguhnya ada malaikat yang berkeliling di jalan-jalan untuk mencari majelis ahli dzikir; maka bila bertemu dengan kaum yang sedang berdzikir mengingat Allah, mereka masing-masing berseru,
“Mari ke sini, inilah hajatmu!”
Lalu para malaikat itu mengerumuni dan menaungi majelis itu dengan sayap mereka hingga langit dunia. Mereka ditanya oleh Tuhan, padahal Tuhan lebih mengetahui,
“Apa yang dibaca oleh hamba-Ku?”
Malaikat menjawab, “Mereka bertasbih, bertakbir, bertahmid dan mengagungkan Engkau.”
Ditanya, “Apakah mereka melihat Aku?”
Malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah. Mereka belum pernah melihat-Mu.”
Ditanya, “Lalu bagaimana sekiranya jika mereka melihat-Ku?”
Malaikat menjawab, “Andaikan mereka melihat pada-Mu, niscaya lebih giat ibadah mereka, dan lebih banyak tasbih mereka.”
Ditanya, “Apa yang mereka minta?”
Malaikat menjawab, “Minta surga.”
Ditanya, “Apakah mereka telah melihatnya?”
Malaikat menjawab, “Demi Allah, mereka belum melihatnya.”
Ditanya, “Bagaimana seandainya mereka melihatnya?”
Malaikat menjawab, “Pasti akan lebih giat usaha perjuangan dan keinginannya.”
Ditanya, “Apa yang mereka takutkan dan minta perlindungan?”
Malaikat menjawab, “Mereka berlindung kepada-Mu dari api neraka.”
Ditanya, “Apakah mereka telah melihatnya?”
Malaikat menjawab, “Belum, demi Allah. Mereka belum melihatnya.”
Ditanya, “Andaikan mereka dapat melihat pasti akan lebih jauh larinya dan rasa takutnya.”
Maka Allah berfirman, “Aku persaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.”

Seorang malaikat berkata, “Di majelis itu ada Fulan dan bukan golongan majelis itu. Dia datang karena ada kepentingan (hajat).”
Maka firman Allah, “Mereka adalah rombongan majelis, yang tidak akan kecewa siapa yang duduk bersama mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)
Begitu utamanya majelis dzikir sehingga muncul sebuah pertanyaan, “Apakah majelis ilmu termasuk majelis dzikir?”

Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc—pengasuh rubrik Syariah dan Kehidupan di Warna Islam—menjelaskan bahwa sesuai dengan makna bahasa, yang disebut dengan majelis adalah tempat di mana orang-orang duduk berkumpul. Adapun makna dzikir secara bahasa adalah mengingat. Namun secara istilah, dzikir seringkali diidentikkan dengan ucapan lafazh di lidah dengan niat ibadah.
Oleh karena itu, secara umum majelis dzikir seringkali oleh para ulama dimaknai sebagai majelis yang dihadiri oleh orang banyak untuk melakukan dzikir di lidah. Hujjah bahwa yang dimaksud dengan majelis dzikir adalah dzikir dengan lisan banyak sekali, sebab di Al-Qur’an pun tidak selalu kata dzikir dikaitkan dengan ilmu. Banyak ayat menyebutkan kata dzikir dalam arti dzikir dengan lisan, misalnya :
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah. (QS al-Ahzâb [33] : 35)

Ada sebagian ulama memaknai kata “majelis dzikir” bukan sebagai majelis untuk berdzikir secara lisan, tetapi majelis tempat diajarkannya ilmu agama. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang memerintahkan orang awam bertanya kepada orang berilmu, yang di dalam Al-Quran disebut ahludz-dzikri.
maka bertanyalah kepada ahludz-dzikri (orang yang mempunyai pengetahuan) jika kamu tidak mengetahui. (QS an-Nahl [16] : 43)

Ibnul Qayyim al-Jauzi berkata tentang ahludz dzikri, “Ahludz dzikri adalah orang yang paham tentang apa-apa yang diturunkan Allah kepada para Nabi.”
Atha’ bin Abi Rabah (wafat 114 H) menjelaskan, “Majelis dzikir adalah majelis ilmu—majelis yang mengajarkan halal dan haram, bagaimana membeli dan menjual, bagaimana berpuasa, belajar tata cara shalat, menikah, thalaq (cerai) dan haji.”

Asy-Syathibi menerangkan, “Majelis dzikir yang sebenarnya adalah majelis yang mengajarkan Al-Qur’an, ilmu-ilmu syar‘i (agama), mengingatkan umat tentang sunnah Nabi agar mereka mengamalkannya, menjelaskan tentang bid‘ah agar umat berhati-hati terhadapnya dan menjauhinya. Ini adalah majelis dzikir yang sebenarnya.” Demikianlah pendapat-pendapat tentang majelis dzikir. Walâhu a‘lam.

Berdzikir kepada Allah akan lebih mantap di hati apabila kita berusaha mengenal-Nya. Tanpa mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya, seseorang bisa bersikap keliru dan menghilangkan optimisme. Untuk manusia saja, bagaimana mungkin kita akan mantap menyebut nama seseorang jika kita tidak mengenalnya?

Ketika Rasulullah saw. memulai dakwah, yang pertama beliau lakukan adalah memperkenalkan Tuhan Yang Maha Esa, sambil meluruskan kekeliruan dan kesesatan masyarakat Jahiliyah. Perintah iqra’ pun (wahyu pertama) mengandung pengenalan kepada Allah dalam perbuatan dan sifat-sifat-Nya.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. (QS al-‘Alaq [96] :1)

Selanjutnya silih berganti ayat turun mengarahkan manusia mengenal Tuhan, antara lain dengan anjuran untuk memperhatikan alam raya dan fenomenanya yang sedemikian teratur dan teliti, mengamati manusia sejak lahir hingga mencapai kesempurnaan pertumbuhan dan perkembangan jiwanya, serta mempelajari sejarah dengan segala dampak baik dan buruknya.Untuk mengenal Allah, selain dengan cara di atas, juga bisa dengan mempelajari Asmaul Husna. Sudah banyak buku yang membahas Asmaul Husna, baik oleh ulama tanah air maupun manca negara dalam bentuk terjemahan. Oleh karena itu penulis tidak akan mengulasnya lebih lanjut.

Sekarang kita telah sampai pada pembahasan akhir tentang metode berdzikir kepada Allah. Teknik berdzikir yang terakhir, yaitu :

d. Dzikir dengan hati
Sebenarnya setiap dzikir memang harus disertai dengan hadirnya hati. Namun, yang dibahas di sini adalah teknik berdzikir bukan menggunakan anggota-anggota badan seperti disebutkan di atas, tapi di dalam hati.
Dzikir di dalam hati (tanpa melibatkan lisan) bisa dilakukan dalam setiap nafas. Kita bernafas dengan tenang dan teratur, pada saat menghirup udara berdzikir “Allâh”, sedangkan ketika mengeluarkan nafas lafazh dzikirnya “Huwa” (biasanya di-waqaf-kan, sehingga dibaca “Hû”, bacaan panjang). Seringkali bacaan panjang ini diabaikan oleh sebagian dari kita, sehingga kesannya seperti orang habis makan cabe yang sangat pedas. Bunyi dzikirnya terdengar “Hu, hu, hu, hu...”

Sebaiknya hal itu tidak kita lakukan, karena kita menyebut asma Allah Yang Maha Pemberi/Pemilik Cahaya (An-Nûr). Bukankah kita berharap agar hati kita senantiasa tercurahkan oleh cahaya-Nya? Memang dari segi hukum tetap sah, asalkan niatnya benar bahwa isim dhomir (kata ganti) “Huwa” menunjukkan Allah, hanya saja bacaannya kurang sempurna karena tidak dibaca panjang. Namun, apakah sopan apabila dengan tergesa-gesa kita menyebut Dzat yang menciptakan kita? Bukankah menyebut nama presiden saja harus dengan hormat? Apalagi menyebut asma Beliau Yang Maha Raja/Maha Berkuasa (Al-Malik). Berdzikir harus disertai sikap tawadhu‘ dan pengharapan penuh kepada Allah, Tuhan Yang Maha Pengampun (Al-Ghafûr).

Syaikh Ibnu Athaillah memberi nasihat tentang anugerah Allah berupa nafas, “Setiap tarikan nafas yang dihembuskan, di dalamnya ada ketentuan Allah. Jangan kosongkan hati dari mengingat Allah, sebab dapat memutuskan murâqabah (pengawasan) anda dari hadirat-Nya. Janganlah keheranan karena terjadinya hal-hal yang mengeruhkan jiwa, karena itu sudah menjadi sifat dunia selama anda berada di dalamnya.”

Di dalam perjalanan hidup anak Adam di permukaan bumi ini, tidaklah seorang hamba terlepas dari problema yang berlaku pula bagi manusia lainnya. Setiap tarikan nafas anak Adam menjadi pertanda bahwasanya persoalan-persoalan yang sama selalu berulang. Hal ini karena segala yang sudah, sedang dan akan terjadi berjalan di atas rencana Allah jua. Dan semua ketetapan dan rencana Allah berlaku untuk setiap orang, di mana kita berada di dalamnya. Tugas hamba Allah dalam mengikuti rencana-Nya, tidak lain adalah menaati hukum-Nya serta mengikuti takdir-Nya dengan hati ridha dan sabar, setelah bekerja keras dengan cara yang cerdas.

Bila kita menginginkan agar jumlah bilangan dzikir lafzhul Jalâlah lebih banyak, maka dzikir di di dalam hati ini bisa diselaraskan sesuai detak jantung (qalb); dengan lafazh dzikir hanya “Allâh” atau “Huwa”. Bila kita senantiasa berdzikir kepada Allah, niscaya Allah juga berdzikir (ingat) kepada kita, di dunia ini dan terutama di akhirat kelak.
فَاذْكُرُوْنِيۤ أَذْكُرْكُمْ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. (QS al-Baqarah [2] : 152)

KH. Asrori al-Ishaqi—pengasuh Pesantren Al-Fithrah Jl. Kedinding Lor Surabaya—pernah menasihatkan agar pada saat dzikir sirri (di dalam hati), lidah kita ditekuk ke atas kemudian ditempelkan ke langit-langit rongga mulut. Ini untuk melatih kita pada saat ajal akan menjemput (sakaratul maut). Pada situasi itu, tenggorokan akan terasa sangat kering dan lidah begitu ngilu sehingga seakan tidak bisa digerakkan. Menjelang kematiannya, setiap orang akan melakukan kebiasaan selama hidup.

Supaya kita husnul khâtimah, maka harus dilatih mulai sekarang. Memang, saat kita segar-bugar, hal itu terasa ringan. Namun, akan sangat berbeda bila sang malaikat pencabut nyawa—‘Izrail—sedang berada di hadapan kita. ‘Izrail akan terlihat sangat tampan bila amal ibadah kita baik, namun sungguh mengerikan bila kita bukan orang yang bertakwa.

Agar mendapat pertolongan-Nya ketika ajal menjelang, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Allah :
اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا ِفيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ
Ya Allah, mudahkanlah bagi kami ketika sakaratul maut, amin.
http://img402.imageshack.us/img402/1663/commentsfb.png
Buat Facebook Comment, klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar