| Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok          Al-QuranAgama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan          juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life          yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di          akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial:          berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya.          Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran          ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya          (QS, 17:9).Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan          akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan          dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut;          dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan          keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu:          Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr          (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang          diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS          16:44).
 Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw.,          Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar          memperhatikan dan mempelajari Al-Quran:          Tidaklah mereka memperhatikan isi          Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS          47:24).
 Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini          beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi          hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata          lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan          Ilmu Pengetahuan."( Persoalan ini sangat penting, terutama          pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu          pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek          kehidupan.
 Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses          yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan          generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science          and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita          menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa          pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila          dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung          pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara          keduanya."6
 Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di          Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di          satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat          mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan          ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat          mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.
 Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita          terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan          memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan          agama dan sejarah perkembangan manusia pada          generasi-generasi yang akan datang.
 
 Periode Turunnya Al-QuranAl-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan          susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi,          tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode          penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas          satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan          dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak          terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak          persoalan induk silih-berganti diterangkan.Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan          hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan          dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda          kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula,          ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan          tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama          tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya.          Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat          216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum          berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan          anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
 Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa          ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup          didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh          penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan          antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan          masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak          menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang          politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini          membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan          kitab-kitab yang dikenal manusia.
 Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab          ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui          periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode          tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
 Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya          Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan          (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada          periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat          yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah.          Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam          tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan          kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari          ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat          Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan          tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
 
 Periode PertamaDiketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu          pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu          pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak          ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru          setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk          menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya          firman Allah: "Wahai yang berselimut,          bangkit dan berilah peringatan" (QS 74:1-2).Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar          dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw.,          dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya:          Wahai orang yang berselimut, bangunlah          dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah          pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah          memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak          darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah          Tuhanmu (QS 74:1-7).
 Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya:          Wahai orang yang berselimut,          bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya,          yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan          bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
 Perintah ini disebabkan karena          Sesungguhnya kami akan menurunkan          kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
 Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya:          Berilah peringatan kepada keluargamu          yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat          sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu.          Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah:          aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS          26:214-216).
 Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau          demi suksesnya dakwah.
 Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan          af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang          diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis          Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena          yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula          persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah          SWT.
 Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah,          serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup          masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya,          dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka          yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang          menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim          serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
 Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah          menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat          Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal          pokok:
 
 Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik             ajaran-ajaran Al-Quran.Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak             ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24),             keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi             nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya             maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang             digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim             memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang             tinggal untuk kami."Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan             Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
 Periode KeduaPeriode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung          selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara          gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam          menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi          kemajuan dakwah Islamiah.Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang          mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu          terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua          --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah.
 Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak,          silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban          prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika          itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan          Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta          bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS          16:125).
 Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang          pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari          kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah          wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu          sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum          'Ad dan Tsamud" (QS 41:13).
 Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung          argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian          hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat          dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan          perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka          berkata: "Siapakah yang dapat          menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?"          Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah          Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha          Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu,          wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu          dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan          langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu?          Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui.          Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya          memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS          36:78-82).
 Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam          membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi          berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang          sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak          huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan          Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa          tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur;          bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan          bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan          dengannya."7
 Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup          memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga          mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio          dan alam pikiran sehat.
 
 Periode KetigaSelama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah          dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena          penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan          ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama          Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama          sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa,          problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang          diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan?          Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl          Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu          diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat          seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan:          Tidakkah sepatutnya kamu sekalian          memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak          mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan.          Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih          berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang          yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan          perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka;          dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati          segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
 Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas          disertai dengan konsiderannya, seperti:          Wahai orang-orang beriman,          sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala,          bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh          karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat          kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan          kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu          disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta          memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka          karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut          (QS 5:90-91).
 Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat          yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh          setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti:          Wahai orang-orang yang beriman,          janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali          setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya.          Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian          mendapat peringatan (QS 24:27).
 Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim          menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka          untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan          akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam          bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara,          aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum          Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah          ayat-ayat penenang yang berbunyi:          Janganlah kamu sekalian merasa lemah          atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi          (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat          luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa.          Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di          antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman          dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya          Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS          3:139-140).
 Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan          orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada          orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik.          Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar,          sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat          yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah:          Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli          kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke          satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah          kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa          pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang          bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah:          "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim"          (QS 3:64).
 
 Dakwah menurut Al-QuranDan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa          ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun          sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat,          hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang          berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu          berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah          penegasan dari Allah SWT: Hari ini          telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat          untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu          (QS 5:3).Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran          disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang          diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di          sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan          adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan          ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan          yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
 Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran          hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau          pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk          dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan          sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan          terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.
 Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan          dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat          melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi          masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode          yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan          dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam          menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada          batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih          mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat          sepanjang masa.
 Untuk menerapkan idenya itu, seorang da'i tidak boleh          bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya,          ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun          dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat          Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan.          Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan          kata-katanya --oleh Allah SWT-- diubah dan dihiasi sehingga          menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi          Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat          dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam          situasi dan kondisi apa pun?
 Argumen kosmologis (cosmological argument) --yang oleh          Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat          dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai          wujud Pencipta (Prime Cause)-- merupakan salah satu          argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga          penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi          segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul,          termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya          Al-Quran?
 Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun          yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam          bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam          masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang          demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia          hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat          diterapkan dalam suatu masyarakat.
 Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat          universal untuk memulai penyebarannya di forum          internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan          ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan          itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi          dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah          berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat          tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot          proyek" bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat          pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain.          Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa          ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa          diturunkannya saja.
 
 Tujuan Pokok Al-QuranDari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil          kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
 Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut             oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan             Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari             pembalasan.Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan             menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus             diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual             atau kolektif.Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan             menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh             manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya.             Atau dengan kata lain yang lebih singkat, "Al-Quran             adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus             ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di             akhirat."
 Catatan kaki6 Whitehead, Science and          the Modern World, hal. 180.7 Lihat 'Abdul Halim          Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab          Al-Lubnaniy, Beirut, 1982, h. 73-74.
 
 | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar