|  | Makna Isra' dan Mi'rajPerjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt          Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan          melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat          singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran          disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini          membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan          menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas)          dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau          ruang.Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari          bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin          kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan          yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum          empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin          lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak          mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh          beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan          diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena          ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat          dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan          oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka          yang menolak peristiwa ini.
 Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya          adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu          Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila          Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh          sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa          tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya          berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh          Al-Quran.
 Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran          adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan          keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj          merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut.          Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap          sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam          bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya          yang terinci.
 Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa          manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif          membentuk umat.
 Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran          menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan          masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas          mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah          mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni          al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan          Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga          bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan          dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan          ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut          sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang          hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat          secara timbal-balik.
 Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka          ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan          pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu          memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya.          Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian          dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat          sebelumnya.204          Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat          tersebut, seperti dikatakan oleh          Al-Biqai'i.205          Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra'          adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang          berarti lebah.
 Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak          keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada          jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang          bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya          terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk          lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh          selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri          menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat          madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi          sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua,          dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin          dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang          berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan.          Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang          dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk          mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota          masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga          puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak          pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam          hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang          ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
 Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban          ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya          dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai          pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya.          Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul,          adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan          indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan          sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang          dihasilkan lebah itu."
 Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan          pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di          sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari          Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu          meminta agar disegerakan datangnya.
 Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah          datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah,"          mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan          datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar          bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu.          Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia,          perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat          kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya          Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan          hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan          kalimat: Maka perkataan Kami kepada          sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan          kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS          16:40).
 Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi.          Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem          gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem          gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih          lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu          lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan          para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan          bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan          waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya.          Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang          Mahaesa.
 Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut          Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab          tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan,          tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui          oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului          atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan          bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu,          muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
 Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun          kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah          yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar          suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan          bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume.          "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah          penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum          David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian          dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar          untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah          akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac          Newton, sang penemu gaya gravitasi.
 Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada          lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar          dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan          oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan          "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu          proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan          Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang          terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan          nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran,          "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha          Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat          pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya:          Kepada Allah saja tunduk segala apa          yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang          melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan          diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas          mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan          (kepada mereka) (QS 16:49-50).
 Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah:          Janganlah meminta untuk          tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat          tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan          peristiwa Isra' ini, Adalah manusia          bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan          inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan          antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil          menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan          yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang          rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
 Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang          mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan          Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali          ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta          sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan          tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut:          Dia (Allah) menciptakan apa-apa          (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8);          Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang          kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan          Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan          kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya.          Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya:          Dan janganlah kamu mengambil satu          sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak          mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena          sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu          kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS          17:36).
 Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan          pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad          ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis,          menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan          kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan          sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini          yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya,          walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu,          teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia          tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97%          selebihnya di luar kemampuan manusia."
 Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya,          pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman          secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau          betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga          demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk          membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi.          Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis          dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni          observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam          yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja.          Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali          saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan          dilakukan eksperimentasi.
 Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh          eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan          karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula          sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa          menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi          hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa          "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan          Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan          sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara          ruhani.
 Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada          perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa          yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta          berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang          Mahaesa.
 Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang          peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini,          digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak          mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus          diambilnya. Allah berfirman:          Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah          kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah          kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula          kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka          tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan          orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128).          Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum          diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
 Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya          bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra'          dan Mi 'raj.
 Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian,          Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas,          menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia          seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya.          Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat          ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang          di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai          yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu,          dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam          surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk          membina diri dan membangun masyarakat.
 Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan          shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah          yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini,          karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak          untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran          dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk          mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia          seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia,          karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan          Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang          tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu          kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia          semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan          oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui,          Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru          bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang          tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan          khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
 Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak          seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah          mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar          atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada          Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan          akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang          menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya          didesak oleh kebutuhannya.
 Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena          shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar          pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian          dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan          para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu,          Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan          doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari          tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita          telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat          tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah          seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia          adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah          Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung          gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse          Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi          yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh          pada penghujung abad XX ini.
 Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan          Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang          peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ          digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap          petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah          menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu          atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah          siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS          16:26).
 Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam          rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan          Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan          masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah:          Jika kami hendak membinasakan suatu          negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup          mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup          dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah          sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan          Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS          17:16).
 Ditekankan dalam surat ini bahwa          "Sesungguhnya orang yang hidup          berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS          17:27).
 Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam          kesederhanaan dan keseimbangan: Dan          janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu          dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya,          agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS          17:29).
 Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam          bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah.          Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya          tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima          puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam          petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni          yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat:          Janganlah engkau mengeraskan suaramu          dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi          carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17:          110).
 Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat          mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di          saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan          tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang          gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama          Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar,          berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang          sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam          kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan          menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya.          Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan          tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya,          tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang          lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
 
 Katakanlah wahai Muhammad,             "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan             kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa             yang lebih benar jalannya (QS 17:84).Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya          dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan          peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad:          "Percayalah kamu atau tidak usah          percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya          mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila          disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka          mereka, sambil bersujud (QS 17: 107). Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat          kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian          peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra'          sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan          Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan          menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas          Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini,          serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk          memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.
 
 Catatan kaki204 Lihat bukunya,          Asrar Tartib Al-Qur'an.205 Lihat dalam          pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat          wa Al-Suwar.
 | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar