3.2.8 Perempuan ZinaYang dimaksud perempuan zina di sini, ialah perempuan-perempuan nakal yang pekerjaannya berzina (pelacur).Dalam hal ini ada suatu riwayat yang diceriterakan oleh Murtsid dari Abu Murtsid, bahwa dia minta izin kepada Nabi untuk kawin dengan pelacur yang telah dimulainya perhubungan ini sejak zaman jahiliah, namanya: Anaq. Nabi tidak menjawabnya sehingga turunlah ayat yang berbunyi: "Laki-laki tukang zina tidak (pantas) kawin, melainkan dengan perempuan penzina atau musyrik; dan seorang perempuan tukang zina tidak (pantas) kawin, melainkan dengan laki-laki penzina atau musyrik. Yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mu'min." (an-Nur: 3)Kemudian beliau bacakan ayat tersebut dan berkata: "Jangan kamu kawin dengan dia." (Abu Daud, Nasa'i dan Tarmizi)Ini justru Allah hanya memperkenankan kawin dengan perempuan-perempuan mu'minah yang muhshanah atau ahli kitab yang muhshanah juga seperti yang telah diterangkan terdahulu. Sedang apa yang dimaksud dengan muhshanah, yaitu yang terpelihara. Syarat muhshanah ini berlaku juga buat laki-laki, yang selanjutnya disebut muhshan seperti yang dikatakan Allah dalam surah an-Nisa' 24: "yang terpelihara, bukan penzina". Barangsiapa tidak mau menerima hukum ini yang bersumber dari kitabullah dan tidak mau menepatinya, maka dia adalah musyrik, yang tidak boleh dikawin kecuali oleh orang musyrik juga. Dan barangsiapa yang mengakui hukum ini dan menerima serta mendukungnya, tetapi dia menyimpang dari hukum tersebut dan kawin dengan orang yang diharamkan oleh hukum, maka berarti dia adalah berzina. Ayat tersebut disebutkan sesudah menerangkan masalah dera yang berbunyi sebagai berikut: "Perempuan yang zina dan laki-laki yang zina, deralah masing-masing mereka itu seratus kali." (an-Nur: 3)Dera ini adalah hukuman jasmani, sedang larangan kawin adalah hukuman moral. Dengan demikian, maka diharamkan mengawasi pelacur sama halnya dengan memurnikan kehormatan warga negara, atau sama dengan menggugurkan kewarga-negaraan orang yang bersangkutan dari hak-haknya yang tertentu menurut istilah sekarang. Ibnul Qayim setelah menerangkan arti ayat di atas, mengatakan: "Hukum yang telah ditetapkan oleh al-Quran ini sudah selaras dengan fitrah manusia dan sesuai dengan akal yang sehat. Sebab Allah tidak membenarkan hambanya ini sebagai germo untuk mencarikan jodoh seorang pelacur. Fitrah manusia pun akan menganggap jijik. Oleh karena itu orang-orang apabila mencari kawannya, mereka mengatakan: 'Pantas kamu suami seorang pelacur.' Untuk itulah, maka Allah mengharamkan perkawinan semacam itu kepada orang Islam." Dan yang lebih jelas lagi, ialah: bahwa kejahatan seorang perempuan ini dapat merusak tempat tidurnya suami dan keturunan yang justru oleh Allah dijadikan sebagai sarana kesempurnaan kemaslahatan mereka dan dinilai sebagai suatu nikmat. Sedang zina dapat mengakibatkan percampuran air dan meragukan keturunan. Oleh karena itu termasuk salah satu keistimewaan syariat Islam, ialah mengharamkan kawin dengan seorang pelacur sehingga dia bertaubat dan mengosongkan rahimnya. Caranya yaitu: paling sedikit haidh satu kali.9 Lagi pula, bahwa seorang pelacur adalah tidak baik. Sedang Allah menjadikan perkawinan itu sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan rasa cinta dan kasih-sayang (mawaddah warahmah). Dan apa yang disebut mawaddah, yaitu kemurnian cinta. Maka bagaimana mungkin orang yang tidak baik dapat dicintai oleh suami yang baik? Suami dalam bahasa Arab disebut zauj, yang berasal dari kata izdiwaj artinya: isytibah wat tawazun (serupa dan seirama). Jadi suami-isteri atau zaujan (dalam bahasa Arab), berarti dua orang yang serupa dan seirama, tidak bertolak belakangnya antara yang baik dan yang buruk baik ditinjau secara hukum syar'i ataupun secara ukuran biasa, tidak akan dapat menghasilkan keserasian, seirama, kecintaan dan kasih-sayang. Maka tepatlah apa yang dikatakan Allah: "Perempuan jahat untuk laki-laki yang jahat, dan laki-laki yang jahat untuk perempuan jahat; dan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik." (an-Nur: 26) 3.2.9 Kawin Mut'ahPerkawinan dalam Islam adalah suatu ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas landasan niat untuk bergaul antara suami-isteri dengan abadi, supaya dapat memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah dalam al-Quran, yaitu ketenteraman, kecintaan dan kasih sayang. Sedang tujuannya yang bersifat duniawi yaitu demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan jenis manusia. Seperti yang diterangkan Allah dalam al-Quran:"Allah telah menjadikan jodoh untuk kamu dari jenismu sendiri, dan Ia menjadikan untuk kamu dari perjodohanmu itu anak-anak dan cucu." (an-Nahl: 72)Adapun kawin mut'ah adalah ikatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam batas waktu tertentu dengan upah tertentu pula. Oleh karena itu tidak mungkin perkawinan semacam ini dapat menghasilkan arti yang kami sebutkan di atas. Kawin mut'ah ini pernah diperkenankan oleh Rasulullah s.a.w. sebelum stabilnya syariah Islamiah, yaitu diperkenankannya ketika dalam bepergian dan peperangan, kemudian diharamkannya untuk selama-lamanya. Rahasia dibolehkannya kawin mut'ah waktu itu, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada Islam. Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik. Sedang bagi mereka yang kuat imannya berkeinginan untuk kebiri dan mengimpotenkan kemaluannya, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud: "Kami pernah berperang bersama Rasulullah s.a.w. sedang isteri-isteri kami tidak turut serta bersama kami, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah, apakah boleh kami berkebiri? Maka Rasulullah s.a.w. melarang kami berbuat demikian dan memberikan rukhshah supaya kami kawin dengan perempuan dengan maskawin baju untuk satu waktu tertentu." (Riwayat Bukhari dan Muslim)Dengan demikian, maka dibolehkannya kawin mut'ah adalah sebagai suatu jalan untuk mengatasi problema yang dihadapi oleh kedua golongan tersebut dan merupakan jenjang menuju diundangkannya hukum perkawinan yang sempurna, di mana dengan hukum tersebut akan tercapailah seluruh tujuan perkawinan seperti: terpeliharanya diri, ketenangan jiwa, berlangsungnya keturunan, kecintaan, kasih-sayang dan luasnya daerah pergaulan kekeluargaan karena perkawinan itu. Sebagaimana al-Quran telah mengharamkan arak dan riba dengan bertahap, di mana kedua hal tersebut telah terbiasa dan tersebar luas di zaman jahiliah, maka begitu juga halnya dalam masalah haramnya kemaluan, Rasulullah tempuh dengan jalan bertahap juga. Misalnya tentang mut'ah, dibolehkannya ketika terpaksa, setelah itu diharamkannya. Seperti apa yang diriwayatkan oleh Ali dan beberapa sahabat yang lain, antara lain sebagai berikut: "Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah berperang bersama Nabi s.a.w. dalam peperangan fat-hu Makkah, kemudian Nabi memberikan izin kepada mereka untuk kawin mut'ah. Katanya: Kemudian ia (Saburah) tidak pernah keluar sehingga Rasulullah s.a.w. mengharamkan kawin mut'ah itu." (Riwayat Muslim)Dalam satu riwayat dikatakan: "Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat." (Riwayat Muslim)Tetapi apakah haramnya mut'ah ini berlaku untuk selama-lamanya seperti halnya kawin dengan ibu dan anak, ataukah seperti haramnya bangkai, darah dan babi yang dibolehkan ketika dalam keadaan terpaksa dan takut berbuat dosa? Menurut pendapat kebanyakan sahabat, bahwa haramnya mut'ah itu berlaku selama-lamanya, tidak ada sedikitpun rukhshah, sesudah hukum tersebut diundangkan. Tetapi Ibnu Abbas berpendapat lain, ia berpendapat boleh ketika terpaksa, yaitu seperti tersebut di bawah ini: "Ada seorang yang bertanya kepadanya tentang kawin mut'ah, kemudian dia membolehkannya. Lantas seorang bekas hambanya bertanya: Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah wanita atau yang seperti itu? Ibnu Abbas menjawab: Ya!" (Riwayat Bukhari)Kemudian setelah Ibnu Abbas menyaksikan sendiri, bahwa banyak orang-orang yang mempermudah persoalan ini dan tidak membatasi dalam situasi yang terpaksa, maka ia hentikan fatwanya itu dan ditarik kembali.10 3.2.10 PoligamiIslam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan selalu terjun dalam suatu realita, mendidik dan menjauhkan dari sikap teledor dan bermalas-malas. Begitulah yang kami saksikan dengan gamblang dalam hubungannya dengan masalah poligami.Dengan menitikberatkan demi kepentingan manusia, baik secara individual maupun masyarakat, Islam membolehkan kawin lebih dari seorang. Kebanyakan ummat-ummat dahulu dan agama-agama sebelum Islam membolehkan kawin tanpa batas yang kadang-kadang sampai sepuluh orang wanita, bahkan ada yang sampai seratus dan beratus-ratus tanpa suatu syarat dan ikatan. Maka setelah Islam datang, perkawinan lebih dari seorang ini diberinya batas dan bersyarat. Batas maksimalnya ialah empat, seperti riwayatnya Ghailan: "Sesungguhnya Ghailan ats-Tsaqafi telah masuk Islam dan mempunyai sepuluh isteri, kemudian Nabi berkata kepadanya: Pilihlah empat di antara mereka itu, dan cerailah yang lain." (Riwayat Ahmad, Syafi'i, Tarmizi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Daraquthni dan Baihaqi)Sementara ada juga yang mempunyai isteri delapan11 dan ada juga yang lima.12 Semuanya itu diperintahkan oleh Nabi supaya memilih empat saja. Adapun kawinnya Nabi sampai sembilan orang itu adalah khususiyah buat Nabi karena ada suatu motif da'wah dan demi memenuhi kepentingan ummat kepada isteri-isteri Nabi itu sepeninggal beliau. 3.2.10.1 Adil Adalah Syarat Dibolehkan PoligamiSyarat yang ditentukan Islam untuk poligami ialah terpercayanya seorang muslim terhadap dirinya, bahwa dia sanggup berlaku adil terhadap semua isterinya baik tentang soal makannya, minumnya, pakaiannya, rumahnya, tempat tidurnya maupun nafkahnya. Siapa yang tidak mampu melaksanakan keadilan ini, maka dia tidak boleh kawin lebih dari seorang.Firman Allah: "Jika kamu tidak dapat berlaku adil, maka kawinlah seorang saja." (an-Nisa': 3)Dan bersabda Rasulullah s.a.w.: "Barangsiapa mempunyai isteri dua, tetapi dia lebih cenderung kepada yang satu, maka nanti di hari kiamat dia akan datang menyeret salah satu lambungnya dalam keadaan jatuh atau miring." (Riwayat Ahlulsunan, Ibnu Hibban dan al-Hakim)Yang dimaksud cenderung atau condong yang diancam oleh hadis tersebut, ialah meremehkan hak-hak isteri, bukan semata-mata kecenderungan hati. Sebab kecenderungan hati termasuk suatu keadilan yang tidak mungkin dapat dilaksanakan. Oleh karena itu Allah memberikan maaf dalam hal tersebut. Seperti tersebut dalam firmanNya: "Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil antara isteri-isterimu sekalipun kamu sangat berkeinginan, oleh karena itu janganlah kamu terlalu condong." (an-Nisa': 129)Oleh karena itu pula setelah Rasulullah membagi atau menggilir dan melaksanakan keadilannya, kemudian beliau berdoa: "Ya Allah! Inilah giliranku yang mampu aku lakukan. Maka janganlah Engkau siksa aku berhubung sesuatu yang Engkau mampu laksanakan tetapi aku tidak mampu melaksanakan." (Riwayat Ashabussunan)Yakni sesuatu yang tidak mampu dikuasai oleh hati manusia dan sesuatu kecenderungan kepada salah satu isterinya. Nabi sendiri kalau hendak bepergian, ia mengadakan undian. Siapa mendapat bagiannya, dialah yang nanti akan diajak pergi oleh Nabi.13 Beliau bersikap demikian demi menjaga perasaan dan tercapainya persetujuan oleh semuanya. | ||||||
3.2.5.3 Memadu Antara Dua Saudara14) Termasuk yang diharamkan oleh Islam, sedang di zaman jahiliah dibebaskan, ialah: memadu dua saudara. Sebab hubungan cinta saudara yang selalu ditekan oleh Islam untuk dikukuhkan itu akan bisa pudar apabila salah satu dijadikan gundik terhadap yang lain.Al-Quran telah menegaskan haramnya permaduan seperti ini, dan disusul dengan penegasan Rasulullah s.a.w. dalam salah satu sabdanya yang berbunyi sebagai berikut: "Tidak boleh dimadu antara seorang perempuan dengan bibinya dari ayah (ammah) dan antara perempuan dengan bibinya dari ibu (khalah). " (Riwayat Bukhari dan Muslim)Dan dalam riwayat lain ada tambahan (ziadah) yang berbunyi sebagai berikut: "Dan Rasulullah sa,w. selanjutnya bersabda: Sesungguhnya kamu apabila mengerjakan yang demikian itu, maka berarti kamu telah memutuskan kekeluargaanmu." (Riwayat Ibnu Hibban)Islam sangat menekankan masalah hubungan kekeluargaan (silaturrahmi), maka bagaimana mungkin dia akan membuat suatu peraturan yang dapat memutuskan hubungan silaturrahmi ini? 3.2.5.4 Perempuan-Perempuan yang Bersuami15) Perempuan yang sudah kawin dan masih menjadi tanggungan suaminya, tidak boleh dikawin oleh laki-laki lain. Dan supaya perempuan dapat halal untuk laki-laki lain itu, diperlukan dua syarat sebagai berikut:a) Perempuan tersebut sudah lepas dari kekuasaan suaminya baik karena ditinggal mati oleh suaminya ataupun karena ditalak. b) Sudah sampai kepada iddah yang telah ditentukan Allah. Dan selama dalam iddah adalah menjadi tanggungan suami yang pertama.Sedang masa iddah, ialah sebagai berikut:
Tentang iddah ini Allah telah berfirman dalam al-Quran sebagai berikut: "Dan perempuan-perempuan yang ditalak, hendaklah menunggu dirinya itu sampai tiga kali suci (guru'), dan tidak halal bagi mereka untuk menyembunyikan apa-apa yang Allah telah jadikan dalam rahim mereka, kalau benar-benar mereka itu beriman kepada Allah dan hari akhir." (al-Baqarah: 228) "Dan perempuan perempuan yang sudah berhenti dari haidh jika kamu ragu-ragu, maka iddah mereka ialah tiga bulan; dan begitu juga orang-orang perempuan yang belum haidh. Sedang untuk mereka yang mengandung, masa iddahnya itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (al-Thalaq: 4)Limabelas macam perempuan yang haram dikawin seperti tersebut di atas, telah diterangkan oleh Allah dalam tiga ayat di surah an-Nisa', yaitu sebagai berikut: "Jangan kamu kawin dengan perempuan-perempuan yang pernah dikawin oleh ayah-ayahmu, kecuali apa-apa yang telah lalu; sebab sesungguhnya dia itu (perbuatan seperti itu) satu kejelekan dan perbuatan dosa serta cara yang tidak baik. Telah diharamkan atas kamu ibu-ibu kamu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, bibi-bibimu dari ayah, bibi-bibimu dari ibu, anak-anak perempuannya saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuannya saudaramu yang perempuan, ibu-ibu kamu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuan kamu yang sesusu, ibu-ibu isteri kamu, anak-anak tiri yang dalam pangkuanmu yang ibunya telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampuri mereka itu, maka tidaklah berdosa atas kamu (untuk mengawini anaknya itu), isterinya anak laki-lakimu sendiri dan memadu antara dua saudara perempuan, karena sesungguhnya Allah adalah pengampun dan penyayang. Dan (diharamkan juga atas kamu) perempuan perempuan yang mempunyai suami." (an-Nisa': 22- 24) 3.2.5.5 Perempuan-Perempuan Musyrik16) Termasuk perempuan yang haram dikawin adalah: perempuan musyrik yaitu perempuan yang menyembah berhala, seperti orang-orang musyrik Arab dahulu dan sebagainya.Firman Allah: "Jangan kamu kawin dengan perempuan-perempuan musyrik sehingga mereka itu beriman, dan sungguh seorang hamba perempuan yang beriman adalah lebih baik daripada seorang perempuan musyrik sekalipun dia itu sangat mengagumkan kamu; dan jangan kamu kawinkan anak-anak kamu (perempuan) dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu beriman, dan sungguh seorang hamba laki-laki yang beriman adalah lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun sangat mengagumkan kamu. Sebab mereka itu mengajak kamu ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Sorga dan pengampunan dengan izinNya juga." (al-Baqarah: 221)Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang muslim laki-laki tidak dibolehkan kawin dengan perempuan musyrik, begitu juga perempuan mu'minah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki musyrik karena ada perbedaan yang sangat jauh antara kedua kepercayaan tersebut. Di satu pihak mengajak ke sorga sedang di lain pihak mengajak ke neraka. Di satu pihak beriman kepada Allah dan para Nabi serta hari kiamat, sedang di lain pihak menyekutukan Allah dan ingkar kepada Nabi serta hari kiamat. Tujuan perkawinan ialah untuk mencapai ketenteraman dan kasih-sayang. Sekarang bagaimana mungkin dua segi yang kontradiksi ini akan dapat bertemu? 3.2.6 Kawin dengan Perempuan Ahli KitabAdapun perempuan-perempuan ahli kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani, oleh al-Quran telah diizinkan kawin dengan mereka itu, untuk mengadakan pergaulan dengan mereka. Dan mereka ini masih dinilai sebagai orang yang beragama samawi sekalipun agama itu telah diubah dan diganti.Untuk itulah, makanannya boleh kita makan dan perempuan-perempuannya boleh kita kawin. Seperti firman Allah: "Makanan-makanan ahli kitab adalah halal buat kamu begitu juga makananmu halal buat mereka. Perempuan-perempuan mu'minah yang baik (halal buat kamu) begitu juga perempuan-perempuan yang baik-baik dari orang-orang yang pernah diberi kitab sebelum kamu, apabila mereka itu kamu beri maskawin, sedang kamu kawini mereka (dengan cara yang baik) bukan berzina dan bukan kamu jadikan gundik." (al-Maidah: 5)Ini adalah salah satu bentuk toleransi dalam Islam yang amat jarang sekali dijumpai taranya dalam agama-agama lain. Betapapun ahli kitab itu dinilai sebagai kufur dan sesat, namun tokh seorang muslim masih diperkenankan, bahwa isterinya, pengurus rumahtangganya, ketenteraman hatinya, menyerahkan rahasianya dan ibu anak-anaknya itu dari ahli kitab dan dia masih tetap berpegang pada agamanya juga. Kita katakan boleh menyerahkan rahasianya kepada isterinya dari ahli kitab itu, karena Allah berfirman sendiri tentang masalah perkawinan dan rahasianya sebagai berikut: "Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menjadikan untuk kamu dari diri-diri kamu sendiri jodoh-jodohnya supaya kamu dapat tenang dengan jodoh itu; dan Dia telah menjadikan di antara kamu cinta dan kasih-sayang." (ar-Rum: 21)Di sini ada suatu peringatan yang harus kita ketengahkan, yaitu: Bahwa seorang muslimah yang fanatik kepada agamanya akan lebih baik daripada yang hanya menerima warisan dari nenek-moyangnya. Karena itu Rasulullah s.a.w. mengajarkan kepada kita tentang memilih jodoh dengan kata-kata sebagai berikut: "Pilihlah perempuan yang beragama, sebab kalau tidak, celakalah dirimu." (Riwayat Bukhari)Dengan demikian, maka setiap muslimah betapapun keadaannya adalah lebih baik bagi seorang muslim, daripada perempuan ahli kitab. Kemudian kalau seorang muslim mengkawatirkan pengaruh kepercayaan isterinya ini akan menular kepada anak-anaknya termasuk juga pendidikannya, maka dia harus melepaskan dirinya --dari perempuan ahli kitab tersebut-- demi menjaga agama dan menjauhkan diri dari marabahaya. Dan kalau jumlah kaum muslimin di suatu negara termasuk minoritas, maka yang lebih baik dan menurut pendapat yang kuat, laki-laki muslim tidak boleh kawin dengan perempuan yang bukan muslimah. Sebab dengan dibolehkannya mengawini perempuan-perempuan lain dalam situasi seperti ini di mana perempuan-perempuan muslimah tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki lain, akan mematikan puteri-puteri Islam atau tidak sedikit dari kalangan mereka itu yang akan terlantar. Untuk itu, maka jelas bahayanya bagi masyarakat Islam. Dan bahaya ini baru mungkin dapat diatasi, yaitu dengan mempersempit dan membatasi masalah perkawinan yang mubah ini sampai kepada suatu keadaan yang mungkin. 3.2.7 Perempuan Muslimah Kawin dengan Laki-Laki LainPerempuan muslimah tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:"Jangan kamu kawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik sehingga mereka itu masuk Islam." (al-Baqarah: 221)Dan firman Allah tentang perempuan-perempuan mu'minah yang turut hijrah ke Madinah: "Kalau sudah yakin mereka itu perempuan-perempuan mu'minah, maka janganlah dikembalikan kepada orang-orany kafir, sebab mereka itu tidak halal bayi kafir dan orang kafir pun tidak halal buat mereka (muslimah)." (al-Mumtahinah: 10)Dalam ayat ini tidak ada pengecualian untuk ahli kitab. Oleh karena itu hukumnya berlaku secara umum. Yang boleh, ialah laki-laki muslim kawin dengan perempuan Yahudi atau Nasrani. Bukan sebaliknya, sebab laki-laki adalah kepala rumahtangga dan mengurus serta yang bertanggung jawab terhadap perempuan. Sedang Islam tetap memberikan kebebasan kepada perempuan ahli kitab untuk tetap berpegang pada agamanya sekalipun berada di bawah kekuasaan laki-laki muslim di mana suami muslim itu harus melmdungi hak-hak dan kehormatan isterinya menurut syariatnya (Islam). Tetapi agama lain, misalnya Yahudi dan Nasrani, tidak memberikan kebebasan terhadap isterinya yang berlainan agama dan tidak memberikan perlindungan terhadap hak-hak isterinya yang berbeda agama itu. Oleh karena itu bagaimana mungkin Islam menghancurkan masa depan puteri-puterinya dan melemparkan mereka ini di bawah kekuasaan orang-orang yang tidak mau mengawasi agama si isteri baik secara kekerabatan maupun secara perjanjian? Prinsip ini adalah justru suami berkewajiban menghormati aqidah isterinya supaya dapat bergaul dengan baik antara keduanya. Sedang seorang mu'min juga beriman kepada prinsip agama Yahudi dan Nasrani sebagai agama samawi --terlepas dari persoalan perubahan-perubahan yang terdapat di dalam kedua agama tersebut-- dia juga beriman kepada Taurat dan Injil sebagai kitab yang diturunkan Allah. Dia pun beriman kepada Musa dan Isa sebagai utusan yang dikirim Allah, keduanya adalah tergolong ulul azmi (yang berkedudukan tinggi). Justru itu seorang perempuan ahli kitab yang berada di bawah kekuasaan suami muslim yang selalu menghargai prinsip agamanya, Nabinya dan kitabnya. Bahkan tidak akan sempurna iman si suami yang muslim itu melainkan dengan bersikap demikian. Tetapi sebaliknya, bahwa laki-laki Yahudi dan Nasrani tidak akan mengakui terhadap Islam, kitab Islam dan Nabinya orang Islam. Untuk itu, bagaimana mungkin seorang muslimah dapat hidup di bawah naungan laki-laki lain, di mana agama si isteri muslimah itu menuntut dia untuk menampakkan syiar-syiar, ibadah-ibadah dan kewajiban-kewajiban serta menetapkan beberapa peraturan tentang halal dan haram? Bukankah suatu hal yang mustahil, bahwa seorang muslimah akan mendapat penghormatan terhadap aqidahnya dan agamanya tetap dilindung, sedang suaminya itu amat benci terhadap aqidah si isteri? Justru itu, logislah kalau Islam mengharamkan seorang laki-laki muslim kawin dengan perempuan animist dimana Islam itu antipati terhadap apa yang disebut syirik dan animisme. Oleh karena itu bagaimana mungkin akan dapat diwujudkan ketenteraman dan kasih-sayang dalam rumahtangga antara suami-isteri itu? Mempertemukan antara dua insan dalam situasi seperti itu, sama dengan apa yang dikatakan oleh penyair Arab zaman dahulu, yaitu sebagai berikut:
|
Buat Facebook Comment, klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar