Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah
dan janganlah kamu bercerai berai.”
(QS. Ali Imron [3]: 103).
Perbedaan, sebuah kata yang tak asing bagi kita. Perbedaan suku, bangsa, adat istiadat, dan kebudayaan telah menjadi ciri khas di negara kita tercinta. Akan tetapi, bagaimana jadinya bila perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan pemahaman dalam melaksanakan agama Islam? Tentunya agama Islam hanyalah satu, yakni yang diwahyukan oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Dalam perjalanannya, umat Islam banyak berbeda pendapat dalam masalah agama, dan masing-masing menganggap bahwa pendapat merekalah yang paling benar. Parahnya lagi, ada sebagian kalangan yang sampai tidak mau mengucapkan salam terhadap kalangan lain yang tidak sepaham, bahkan sampai ada yang begitu mudahnya mengkafirkan kalangan lain yang tidak sejalan dengan pemahamannya.
Sebelum kita melangkah lebih jauh mengenai perbedaan, perlu kita ketahui hal-hal yang dapat menyebabkan perbedaan, diantaranya:
Pertama, ta’ashshub (fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik yang disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia, atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya. Inilah fanatik yang menambah perpecahan. Untuk menhindari fanatisme yang demikian, kita hendaknya mengikhlaskan amalan semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena status dan kedudukan. Karena hanya akan menyebabkan seseorang mengukur kebenaran berdasarkan figur/ tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran dan orang yang berada di atasnya meskipun orang itu kecil atau rendah derajatnya. Semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim dari kedzalimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya.
Kedua, menukil perkataan dan menyebarluaskannya tanpa tahu secara mendalam apa yang didengar dan diketahuinya. Menukil perkataan di antara manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah perpecahan. Nabi SAW membenci “qiila wa qoola” atau banyak menukil perkataan antar manusia tanpa dasar. “Kata Fulan begini…, kata Fulan begitu, Fulan mengatakan begini…, Fulan dikatakan begitu..” sehingga diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan tersebut. Untuk menghindari sifat ini, kita wajib menjaga lisan, tidak memperbanyak menukil perkataan tanpa dasar dan bukti, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada manfaatnya, dan menjauhinya dengan mengatakan: “Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat,” kecuali jika (menukil perkataan itu) ada maslahatnya untuk mendamaikan, maka hal itu diperbolehkan.
Ketiga, jahil (bodoh). Perselisihan kadang disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq (benar) atau jahil terhadap ahli haq. Jahil terhadap al-haq adalah tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada. Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiah, kemudian datang orang yang tidak mengetahui kebenaran dalam masalah yang diperselisihkan ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat menambah perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap ahlul haq (orang-orang yang mengikuti kebenaran).
Ketika menghadapi suatu perbedaan pendapat dalam masalah agama, seorang muslim hendaknya melakukan hal-hal berikut: Pertama, berusaha untuk mencari kebenaran dan membelanya. Inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiah (keilmuaan) ataupun masalah amaliah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya. Kewajiban seorang muslim, yang pertama adalah mengetahui kebenaran dengan dalil-dalilnya. Andaikata perselisihan itu dalam masalah masalah ilmiah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
Kedua, apabila perselisihan itu terjadi diantara saudara sesama muslim, maka wajib baginya untuk bersabar, serta tidak melakukan tindakan yang dapat memecah-belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, di mana tentunya kita wajib memegangnya, maka dia hendaknya bersabar dalam menghadapi saudara yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban kita adalah mengetahui di pihak manakah kebenaran itu berada.
Ketiga, menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat di atas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah SWT: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia” (QS. An-Nisaa [4]: 114).
Keempat, tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil atau menyebarkan perkataan yang tanpa dasar atau bukti yang kuat, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
Kelima, bersikap wasath (netral) antara pihak yang ghuluw (berlebih-lebihan) dan membesar-besarkan setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/ meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri.
Keenam, jika dia melihat yang haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah dia berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan. Maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.
Kemudian, setelah kita mengetahui penyebab dan kewajiban kita terhadap perbedaan pendapat, maka dapatlah kita mengupayakan perdamaian bagi mereka yang berselisih, dengan cara:
Pertama, niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan. Allah berfirman tentang dua orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih: “Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu ”(QS. An-Nisaa [4]: 35). Kalau dalam masalah mendamaikan suami-istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang-orang yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi dia akan diberi taufik apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar). Kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan, sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi perdamaian.
Kedua, mendoakan kebaikan saudara-saudara kita dengan mengikhlaskan niat agar Allah mengangkat perselisihan, mendamaikan dan menyatukan hati mereka di atas kebaikan dan taqwa serta membimbing mereka dalam kebenaran.
Ketiga, menasihati pihak yang salah secara langsung dengan hikmah dan perkataan yang baik. Tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya, adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak ada kewajiban baginya.
Keempat, menasehati pihak yang benar agar bersabar. Para sahabat Nabi SAW pun berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka. Namun setiap mereka mengatakan pada temannya: “Kami tidak merasa lebih dari kalian dalam iman dan taqwa,” Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan: “(Mereka) adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan taqwa” padahal beliau adalah orang yang paling utama. Demikian pula Muawiyah r.a, beliaupun mengakui keutamaan Ali r.a. dan mengatakan: “Kami tidak memerangi beliau dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau”.
Lihatlah, bagaimana mereka berselisih dan menginginkan kebenaran, dan walaupun sudut pandang mereka berbeda dalam banyak masalah, namun mereka tidak saling mencela satu sama lain. Bahkan mereka saling mengakui kelebihan dan kebaikan masing-masing. Inilah mu’amalah yang harus dilakukan terhadap saudara-saudara kita.
Wallahu a’lam bishshawwab
Buat Facebook Comment, klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar